Friday, April 20, 2012

Makalah Tarikh Tasyri'_Sejarah Hukum Pra Islam


BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Muhammad adalah seorang revolusioner sejati, keberhasilannya merubah pola kehidupan masyarakat Arab hingga seluruh belahan dunia dalam berbagai aspek kehidupan, menjadikannya layak mendapat julukan ini. Setidaknya pendapat ini diyakini oleh semua umat Islam dan sebagian orientalis. Michael H. Hart dalam bukunya yang berjudul 100 Tokoh yang Paling Bepengaruh di Dunia menempatkan Nabi Muhammad dalam urutan pertama. Ia mengatakan bahwa Muhammad adalah sosok manusia yang  berhasil memimpin dan menyebarkan Agama Islam hingga seluruh dunia. [1] Namun, setelah terjadinya perang salib akibat gerakan ekspansi kekuasaan dan keagamaan yang dilakukan oleh pasukan Islam sejak masa Khulafa’ ar-Rasyidun menimbulkan kebencian dikalangan umat Kristen terhadap sosok Nabi Muhammad Saw.  Kebencian  ini diwujudkan melalui berbagai cara, misalnya saja melalui propaganda melalui pendapat, tulisan-tulisan, buku yang semuanya bertujuan menjatuhkan pamor Muhammad dihadapan umatnya dan umat manusia lainnya.
Al-Qur’an dan al-Hadits yang menjadi sumber hukum Islam juga tidak lepas dari sasaran sebagian orientalis yang tidak menghendaki Islam berkembang. Mereka mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan karya Muhammad yang disesuaikan dengan kondisi Arab pada masa itu. Sehingga al-Qur’an tidaklah wajib diimani. Hal ini kemudian bertentang dengan doktrin Islam yang tercantum dalam al-Qur’an yang mengatakan bahwa al-Quran berasal dari Allah SWT. dan tidak ada campur tangan manusia sama sekali di dalamnya, meskipun unsur kebudayaan Arab pada masa itu menjadi latar belakang turunyna ayat-ayat al-Quran.
Sejarah penetapan hukum Islam (tarikh Tasyri’) tidak terlepas dari fenomena di atas. Proses penurunan ayat-ayat al-Quran hingga masa wafatnya Nabi Saw.  merupakan informasi otentik untuk menjawab pertanyaan Benarkah al-Qur’an? Bagaimana proses tasyri’ pada masa Rasulullah? Benarkah kondisi masyarakat Arab pada masa itu mempengaruhi Rasulullah dalam melakukan Tasyri’?

B.       Rumusan Masalah
Makalah ini akan mengkaji lebih detail tentang berbagai permasalahan sebagai berikut:
1.        Bagaimana sejarah Arab sebelum Islam datang?
2.        Bagaimana tarikh tasyri’ pada periode Makkah dan Madinah?
3.        Apa saja sumber-sumber tarikh tasyri’ pada masa Rasulullah?
4.        Bagaimana kedudukan ijtihad Rasulullah Saw dalam penetapan hokum?
5.        Bagaimana kedudukan ijtihad shahabat pada masa Rasulullah Saw?
6.        Apa saja hikmah dari ijtihad Rasulullah Saw?

C.      Tujuan
1.      Mengetahui sejarah Arab sebelum Islam dating.
2.      Mengetahui tarikh tasyri’ pada periode Makkah dan Madinah.
3.      Mengetahui sumber-sumber tarikh tasyri’ pada masa Rasulullah.
4.      Mengetahui kedudukan ijtihad Rasulullah Saw dalam penetapan hokum.
5.      Mengetahui kedudukan ijtihad shahabat pada masa Rasulullah Saw.
6.      Mengetahui hikmah dari ijtihad Rasulullah Saw.



BAB II
PEMBAHASAN


A.      Sejarah Arab Pra-Islam datang
Sejarah penetapan hukum Islam tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosio-kultural masyarakat Arab Jahiliyah. Masyarakat Arab Jahiliyah adalah masyarakat yang memiliki ketaatan yang tinggi terhadap kepercayaan nenek moyang, berani, gemar sastra dan jarang melanggar janji.[2] Pola kehidupan masyarakat Arab pada masa itu dengan cara berpindah-pindah (nomaden). Sebagian daerah Arab dikenal dengan wilayah yang gersang dan hanya sebagian kecil saja yang memiliki sumber kehidupan berupa air dan rumput untuk binatang ternak. Kondisi geografis yang tidak menguntungkan ini kemudian menjadikan persaingan antar suku menjadi sangat sering terjadi. Suku yang memiliki kekuatan yang besar akan semakin mudah menguasai daerah-daerah yang subur.
Kenyataan ini membuat suku-suku di Arab membentuk suatu perkumpulan yang lebih besar. Mereka juga menanamkan rasa kesetiaan pada kaum dan sekutu-sekutunya. Hanya suku yang dapat menjamin keamanan anggotanya. Doktrin ini dinamai dengan muru’ah. Muruah diartikan sebagai keberanian dalam berperang, pengabdian terhadap tugas untuk melakukan pembalasan kesalahan yang dilakukan terhadap suku, melindungi para anggota yang lemah dan menghadapi yang kuat.[3] Doktrin ini dijaga dari generasi ke generasi, setiap anggota wajib membela saudara sesuku dan taat terhadap pemimpin.
Selain peperangan yang terjadi bertahun-tahun, banyak sisi negatif dari kebudayaan masyarakat Arab Jahiliyah yang melanggar norma kemanusiaan. Hukum Alam sangat menentukan nasib individu saat itu. Karen Amstrong mengatakan bahwa hanya yang kuat yang bertahan dan itu berarti yang lemah dileyapkan atau dieksploitasi secara memilukan. Perempuan dianggap sebagai Sub Ordinat bagi laki-laki. Pembunuhan bayi, terutama terhadap bayi perempuan yang cenderung lebih bertahan hidup daripada bayi laki-laki menjadi cara yang lazim untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk.[4] Bayi-bayi perempuan yang dibiarkan hidup hingga dewasa menjadi barang komoditi perdagangan. Kedudukannya disamakan dengan harta benda, ia bisa dijual, dibuang, atau diwariskan.
Dibidang keagamaan, orang Arab Pra-Islam memiliki beberapa tradisi menyembah tuhan. Ada yang menyembah matahari, bulan, bintang, dan  melalui perantara berhala. Di antara berhala-berhala yang paling dikenal yaitu Manata, Lata, dan Uzza. Orang-orang Arab yang menyembah berhala sebenarnya telah mengenal Allah, sayangnya berhala-berhala tersebut  dijadikan sebagai keluarga Allah dan wajib pula untuk di sembah.[5] Setiap tahunnya, masyarakat Arab Jahiliyah melakukan ibadan mengelilingi ka’bah dengan cara mereka masing.
Dibidang ekonomi, masyarakat Arab Jahiliyah mengandalkan penghasilannya dari sektor perdagangan. Pedagang yang memiliki modal besar akan lebih menguasai pasar dari pada pedagang yang bermodal kecil. Sering terjadi tindakan diskriminasi. Hak-hak rakyat miskin tidak pernah diperhatikan bahkan mereka sering kali ditindas, harta anak-anak yatim dipergunakan dengan sewenang-wenang, dan masih banyak sisi gelap kondisi masasyarakat Arab Pra-Islam.
Berpijak pada fenomena sosio-kultural masyarakat Arab Jahiliyah yang tidak teratur dan cenderung menimbulkan ketidakadilan, kehadiran Islam membawa sebuah reformasi dan perbaikan dalam sistem kehidupan bermasyarakat dan beragama.

B.       Tasyri’ Periode Mekkah Dan Madinah
Hukum islam pada masa Nabi Muhammad Saw dapat dibedakan menjadi dua fase: fase Mekkah dan Madinah. Adapun masyarakat pada fase Mekkah dapat di cirikan sebagai berikut:
1.      Jumlah muslim masih minoritas
2.      Kekuatan yang dimiliki masih sangat lemah
3.      Dikucilkan dari masyarakat Mekkah saat itu (blokade ekonomi)
Oleh karena itulah langkah awal yang dilakukan Nabi Muhammad Saw saat itu adalah menguatkan akidah terlebih dahulu sebagai pondasi amaliah ibadah.
 Dengan mengokohkan akidah diharapkan para muallaf tidak kembali lagi pada kepercayaannya semula, seperti berperang (membunuh), zina, mengubur anak perempuan hidup-hidup. Selain itu mereka juga diharapkan dapat menegakkan keadilan, kebaikan, dan saling tolong-menolong.
Dalam al-Qur’an fase Mekkah ayat yang turun rata-rata seputar penolakan terhadap syirik dan mengajak kepada ketauhidan dan hikmah dari kisah terdahulu. Pada fase ini al-Qur’an masih sedikit membahas masalah ibadah kecuali setelah hijrah tetapi erat kaitannya dengan ibadah, seperti pengharaman bangkai, darah, semblihan yang tidak menyebutkan nama Tuhan.
Setelah berusaha 13  tahun dan kurang mendapatkan tempat dihati masyarakat Mekkah bahkan saat itu Rasulullah beserta umat muslim dimusuhi, maka Rasulullah memutuskan untuk hijrah ke Madinah.
Pada saat Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau disambut dengan meriah oleh pengikut-pengikutnya, selain itu umat muslim sudah bisa meninggalkan aqidah lamanya. Ciri-ciri masyarakat fase Madinah sebagai berikut:[6]
1.      Jumlahnya telah banyak serta berkualitas
2.      Mengeliminasi permusuhan dalam rangka mengesakan Allah SWT
3.      Telah adanya syariat Islam untuk mencapai kebaikan dalam masyarakat
4.      Membentuk aturan damai dalam perang
Adapun syariat yang muncul ketika fase Madinah seperti muamalat, jihad, jinayat, mawarits, wasiat, talak, sumpah, dan peradilan.
Pada fase ini dapat dijelaskan bahwa kekuasaan hukum didasarkan kepada Rasulullah Saw secara langsung tanpa campur tangan orang lain. Sementara sumber yang digunakan adalah wahyu, baik yang matlu yaitu al-Quran ataupun ghoiru matlu yaitu Sunnah, sehingga pada masa ini belum penah terjadi perselisihan dalam hukum. Dan kebanyakan dari ayat-ayat yang diturunkan berkenaan atau sesuai dengan suatu peristiwa atau menjadi jawaban dari pertanyaan.
Oleh karena itu, pada fase ini Islam telah terbina menjadi satu kekuatan dalam pemerintahan. Dan sumber hukum bukan hanya al-Qur’an dan Hadits, tetapi telah diakui bahwa nabi berijtihad dalam sebagian hukum dan maengakui ijtihad sahabat dari sebagian yang lain.[7]

C.      Sumber Tasyri’ pada Periode Rasulullah Saw
Dalam kepustakaan hukum Islam, sumber hukum Islam seorang juga disebut dengan dasar hukum atau dalil hokum. Sumber adalah asal sesuatu, dan arti sumber hukum Islam sendiri adalah asal (tempat pengambilan) hukum Islam. Dalam al-Qur’an Surat an-Nisa’: 59 disebutkan bahwa setiap muslim wajib mengikuti kehendak Allah, kehendak Rasul dan kehendak ulil ‘amri yakni orang yang mempunyai “kekuasaan” berupa ilmu pengetahuan untuk mengalirkan ajaran hukum Islam dari dua sumber utamanya yakni al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad.
Perundang-undangan di masa Rasul mempunyai dua sumber yaitu wahyu Allah dan sunnah Rasul, yang tidak terlepas dari pengawasan Allah. Bahwa tiap-tiap hukum dalam al-Quran disyariatkan untuk sesuatu kejadian yang memerlukan penetapan hukumnya.
1.      Al-Quran adalah sumber hukum pertama dan utama. Ia memuat kaidah-kaidah hukum fundamental (asasi) yang perlu dikaji dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut. al-Quran berasal dari kata qara-a (membaca) berubah menjadi kata benda qur’an berarti bacaan atau sesuatu yang harus dibaca dan dipelajari. Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang berfungsi sebagai mukjizat bagi Muhammad, sebagai pedoman hidup bagi setiap muslim dan sebagai korektor dan penyempurna kitab-kitab Allah sebelumnya. Sayaknid Husein Nasr berkata bahwa al-Qur’an mempunyai tiga petunjuk bagi manusia Pertama, adalah ajaran yang memberi pengetahuan tentang berbagai hal baik jagat raya maupun makhluk yang mendiaminya, termasuk ajaran tentang keyakinan atau iman, hukum atau syariat, dan moral atau akhlak. Kedua, al-Qur’an berisi sejarah atau kisah-kisah manusia zaman dulu termasuk kejadian para Nabi, dan berisi pula tentang petunjuk di hari kemudian atau akhirat. Ketiga, al-Qur’an berisi pula sesuatu yang sulit dijelaskan dengan bahasa biasa karena mengandung sesuatu yang berbeda dengan yang kita pelajari secara rasional.
Akomodasi Hukum Islam dalam al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyu Allah kepada Nabi Muhammad Saw, “akomadatif” terhadap hokum yang hidup dan berkembang di masyarakat Arab pra-Islam. Dalam al-Qur’an terdapat tawaran perbaikan yang berupa pembatalan dan perubahan, di antaranya adalah:[8]
·         Hokum Poligini
Perkawinan telah dilakukan manusia sebelum al-Qur’an diturunkan. George Whitecroos Paton (1955: 438) menjelaskan bahwa pada awalnya, manusia melakukan persetubuhan secara bebas tanpa ada paksaan. Pada fase kedua dilakukan melalui perkawinan poliandri, yaitu seorang perempuan memiliki banyak suami; fase ketiga adalah poligini, yaitu seorang suami memiliki banyak istri; dan yang terahir adalah monogami, yaitu seorang laki-laki hanya memilki seorang istri dan sebaliknya seorang istri memiliki seorang suami.
Friederick Engels (sebagimana dikutip oleh Arif Budiman, 1985:49) juga menjelaskan tentang evolusi perkawinan yang hampir sama dengan penjelasan di atas, yaitu: perkawinan masyarakat liar, perkawinan  masyarakat Barbar, dan perkawinan masyarakat beradab. Perkawinan Barbar adalah seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan tetapi, baik laki-laki maupun perempuan, di samping memiliki istri atau suami utama, memilki pula istri-istri atau suami-suami lain. Dengan demikian, perkawinan Barbar adalah poligami. Poligami mengandung dua arti: poligini dan poliandri. Poligini adalah seorang suami yang memilki istri banyak. Sedangkan poliandri adalah seorang istri memiliki suami banyak.
Perkawinan masyarakat beradab adalah monogamy, yaitu seorang suami hanya memiliki seorang istri dan sebaliknya. Di dunia islam, pendapat yang mengatakan bahwa semangat al-Qur’an itu monogami, diantaranya dikemukakan oleh Fazlur Rahman. (Muhammad Azhar, 1966:75-6)
Tawaran perubahan yang terdapat dalam al-Qur’an adalah pernikahan poligini, poliandri diharamkan dengan jumlah istri yang dibatasi, yaitu empat orang (QS. al-Nisa’ 4: 3)
·         Syarat-Syarat Penerimaan Harta Pusaka
Pembagian harta pusaka telah dilakukan penduduk Arab pra-Islam. Dalam tradisi nenek moyang mereka terdapat ketentuan utama bahwa anak yang belum dewasa dan perempuan tidak berhak mendapatkan harta pusaka (Fatchur Rahman, 1987: 11). Adapun syarat-syarat mempusakai pada zaman Arab Jahiliah adalah (1) pertalian kerabat, (2) janji setia, dan (3) adopsi.
Pada dasarnya, setiap yang mempunyai hubungan kerabat, orang yang mempunyai ikatan janji setia, dan anak angkat adalah ahli waris. Meraka berhak mendapatkan harta pusaka apabila telah memenuhi syarat, yaitu (1) dewasa, (2) laki-laki (Fatchur Rahman 1987: 12-3). Dengan demikian, ahli waris dari golongan kerabat terdiri dari atas laki-laki, yaitu (1) anak laki-laki, (2) saudara laki-laki, (3) paman, dan (4) anak paman. (Fatchur Rahman 1987: 13)
Pada zaman awal Islam (setelah Nabi Saw dan sahabat hijrah ke Madinah) selain karena pertalian nasab atau kerabat, terdapat tiga sebab mendapatkan harta pusaka, yaitu (1) adopsi, (2) hijrah, dan (3) persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar). (Fatchur Rahman 1987: 16-7)
Akomodasi al-Quran terhadap tradisi Arab pra-Islam di antaranya dengan menjadikan perempuan sebagai anggota keluarga yang mendapatkan harta pusaka baik sebagai anak, istri, ibu maupun saudara. Pokok- pokok hokum waris dicantumkan dalam surat al-Nisa’ 4: 7-14. Hal lainnya adalah dibatalkannya saling mewarisi yang disebabkan oleh adopsi (QS. al-Ahzab 33: 4-5).


2.      As-Sunnah atau al-Hadist adalah sumber hokum islam kedua setelah al-Qur’an. Menurut ulama ahli ushul, hadis adalah “segala perkataan, segala perbuatan, dan segala ketetapan Nabi Muhammad Saw, yang berkaitan dengan hokum”.[9] ketentuan hokum dalam hadis, dalam hubungannya dengan al-Qur’an ada tiga macam. Pertama, hadis memuat hokum yang sesuai dengan hokum yang ada dalam al-Qur’an. Dalam hal ini hadis memperkuat hokum yang ada dalam al-Qur’an atau mengulangi apa yang dikatakan dalam al-Qur’an, sehingga suatu perbuatan mempunyai dua sumber sekaligus. Kedua, hadis memuat hokum yang menjelaskan hokum dalam al-Qur’an. Penjelasan ini dapat berupa:
·         Merinci yang umum (seperti perincian tata cara shalat) misalnya; al-Qur’an menyatakan perintah shalat :
وَأَقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَآتُوْا الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُوْا لِأَنْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللهِ إِنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَبَصِيْرٌ.
110. Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 110)
     Shalat dalam ayat ini masih bersifat umum, maka as-Sunnah merinci secara operasional, baik kaifiyatnya, (bacaanya dan gerakannya). Nabi bersabda: shalat kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat (al-Hadis). Demikian pula status hukumnya wajib atau sunnah, misalnya orang Badui bertanya kepada Rasulullah beritahukan kepadaku shalat yang difardhukan untukku? Rasulullah berkata: “shalat lima waktu, yang lainnya sunnah”.(HR. Bukhari dan Muslim) 
·         Membatasi yang mutlak (seperti batasan wasiat, sepertiga) misalnya dalam al-Qur’an menyatakan:
وَقَالُوْا لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ إِلاَّ أَيَّامًا مَّعْدُوْدَةً قُلْ أَتَّخَذْتُمْ عِنْدَ اللهِ عَهْدًا فَلَنْ يُخْلِفَ اللهُ عَهْدَهُ أَمْ تَقُوْلُوْنَ عَلَى اللهِ مَالاَ تَعْلَمُوْنَ.
80. Dan mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja." Katakanlah: "Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya, ataukah kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?" (QS. Al-Baqarah: 80)
Mengenai hal ini, as-Sunnah  memberikan batas mengenai banyaknya wasiat agar tidak melebihi sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Hal ini disampaikan oleh Rasulullah Saw. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan muslim dari Saad bin Abi Waqash ra. Yang menanyakan kepada Rasulullah Saw. Tentang jumlah wasiatny, Rasulullah melarang memberikan wasiat seluruhnya, tetapi hanya menyetujui sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkan.[10]
Ketiga, hadis memuat hokum baru yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an secara jelas. Dalam hal ini seolah-olah Nabi menetapkan hokum sendiri. Namun sebenarnya bila diperhatikan dengan seksama, apa yang ditetapkan oleh Nabi itu pula hakikatnya adalah penjelasan apa yang disinggung Allah dalam al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan Allah secara terbatas. Dari segi jumlah periwayatan, ulama Hanafiyah membagi hadis menjadi tiga, yaitu:
·         Hadis mutawatir, yaitu hadis yang diriwayatkan dari Nabi Saw. Pada masa sahabat, tabi’in, tabi’it-tabi’in oleeh orang banyak dan tidak munkin mereka berdusta,
·         Hadis masyhur, yaitu hadis yang diriwayatkan dari Nabi Saw. Pada masa sahabat oleh orang banyak tetapi tidak sampai batasan mutawatir,
·         Hadis ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan dari Nabi Saw. Pada masa sahabat, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in oleh orang yang jumlahnya tidak sampai batas mutawatir.
Penggolongan hadis tersebut di atas berkaitan dengan kedudukannya sebagai sumber hokum. hadis mutawatir menimbulkan keyakinan tentang kebenaran isinya dan harus diikuti. Oleh karena jumlah periwayatannya menjadi jaminan tidak adanya kesepakatan untuk berdusta, maka hadis mutawatir tidak menjadi objek pembicaraan ilmu hadis dari segi kualitasnya maqbul (diterima sebagai sumber hukum) atau mardud (ditolak menjadi sumber hokum). pembicaraan tentang kualitas hadis berlaku pada hadis ahad. Hadist ahad yang shahih dan hadis ahad yang hasan nilainya maqbul (diterima sebagai sumber hukum), sedangkan hadis ahad yang dhaif nilainya mardud (ditolak sebagai sumber hokum).[11]

D. Ijtihad Nabi Muhammad Saw
Pada saat Rasulullah masih hidup, penentuan hukum berdasarkan atas dua sumber yaitu wahyu Allah dan ijtihad Rasulullah Saw. Terjadinya suatu peristiwa yang menghendaki adanya hukum dapat timbul karena adanya suatu pertanyaan atau perselisihan bahkan atas permintaan Rasul, maka Allah mewahyukan kepada Rasul-Nya ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan hukum yang dikehendaki untuk disampaikan kepada umatnya.[12]
Para ulama berikhtilaf tentang ijtihad Nabi Muhammad Saw terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash dari Allah. Sebagian ulama Asy’ariyah dan kebanyakan ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw tidak boleh melakukan ijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash, yang berhubungan dengan amaliah tentang halal dan haram. Sedangkan ulama ushul, di antaranya Abu Yusuf al-Hanafi dan al-Syafi’i membolehkannya.
Sebagian shahabat al-Syafi’I al-Qadli Abd al-Jabar, dan Abu Hasan al-Bashri berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw melakukan ijtihad dalam berperang, bukan dalam bidang hukum.
Menurut sebagian ulama, Nabi Saw tidak berijtihad sebab perkataan, perbuatan, dan ketetapannya adalah al-Sunnah – sunber atau dalil hukum islam kedua – juga berdasar firman Allah:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ اْلهَوَى {3} إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْ حَى {4}
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya; ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. al-Najm: 3-4)
Ijtihad Nabi Muhammad Saw telah diteliti secara khusus oleh Abd al-jalil ‘Isa dengan judul Ijtihad al-Rasul Salla Allah ‘alaihi wa Sallam yang diterbitkan o;eh Dar al-Bayan di Beirut. Dalam buku tersebut, Abd al-Jalil ‘Isa mengemukakan pendapat ulama yang membolehkan Nabi Muhammad Saw melakukan ijtihad.
Dalam kitab al-Fishal fi al-Mihal wa al-Ahwa wa al-Nihal, Ibnu Hazm berkata, “Kadang-kadang para Nabi bermaksud memutuskan dan atau mengerjakan sesuatu untuk mendapatkan ridla Allah, tetapi ternyata keputusan dan pekerjaannya tidak sesuai dengan kehendak Allah, seperti peristiwa perceraian Zainab dengan Zaid ibn Haritsah dan kemudian Zainab kawin dengan Nabi Muhammad Saw; dan peristiwa Ibnu Umi Maktum.
Al-Qadli ‘Iyadl, dalam kitab al-Syifa’, berpendapat bahwa Nabi Muhammad berijtihad tentang masalah duniawi. Salah satu contohnya adalah strategi perang yang dikemukakan oleh Nabi Muhammad Saw dalam Perang Khandaq. Strategi perang yang ditetapkan Nabi Muhammad Saw ditolak oleh kalangan Anshar.
‘Abd al-Jalil ‘Isa mengungkapkan beberapa contoh ijtihad yang dilakukan Nabi Muhammad Saw, diantaranya sebagai berikut:
a.       Ketika ditanya tentang cara memperlakukan anak-anak Musyrikin yang ikut dalam berperang, Nabi Muhammad Saw menjawab, ”Mereka diperlakukan seperti bapak-bapaknya.”
b.      Qiblat umat Islam sebelum ditetapkan oleh Allah SWT adalah Bait al-Maqdis. Umat Islam shalat menghadap ke Bait al-Maqdis selama 16 atau 17 bulan. Shalat ke Bait al-Maqdis adalah ijtihad Nabi Muhammad Saw.
c.       ‘Abd Allah ibn Ubai (tokoh munafik) dating kepada Nabi Muhammad Saw dan meminta beliau agar beristigghfar (memohonkan ampunan kepada Allah) unutknya. Kemudian nabi Muhammad Saw memohon kepada Allah agar ‘Abd Allah ibn Ubai diampuni. Di samping itu, Nabi Muhammad Saw memohon kepada Allah agar Abd Allah ibn Ubai diberi petunjuk oleh Allah. Kemudian Allah berfirman;“kamu memmohonkan ampun bagi mereka (orang-orang munafik) atau kamu tidak memohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja).” (QS. al-Taubah: 80)
Demikian beberapa contoh ijtihad yang dikemukakan oleh ‘Abd al-Jalil ‘Isa dan Muhammad Salam Madkur. Karena melakukan ijtihad, Nabi Muhammad Saw kemungkinan salah dalam ijtihadnya. Dalam menanggapi hal ini, ulama berbeda pendapat. Menurut al-Syafi’iyah, Nabi Muhammad Saw tidak akan salah dalam berijtihad; sedangkan al-Juba’I dan Mu’tazilah berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw bisa salah dalam berijtihad tetapi kemudian ditegur oleh Allah atau shahabat.[13]

E. Ijtihad Shahabat Pada Masa Nabi Muhammad Saw
Dalam periode ini telah terjadi sumber tasyri’ yang pertama yakni al-Qur’an yang mempengaruhi terhadap perundang-undangan Islam, sedangkan sumber hokum yang utama yang dijadikan pegangan dalam periodesasi ini adalah al-qur’an dan al-Hadits.[14]
Disamping al-Qur’an dan Sunnah, terdapat sumber hokum yang ketiga, yaitu  ijtihad. Dari segi cara, ijtihad adalah metode penggalian hukum islam; sedangkan dari segi “hasil”, ia (hasil ijtihad) termasuk sumber hokum islam.
Diantara shahabat yang melakukan ijtihad pada zaman Nabi Muhammad Saw adalah mereka yang diutus untuk mennjadi qadli atau hakim. Diantaranya ‘Ali ibn Abi Thalib yang diutus oleh Rasul Saw untuk menjadi hakim di Yaman; Mu’adz ibn Jabalyang diutus oleh Nabi Saw menjadi hakim di Yaman; dan khuzaifah al-Yamani yang diutus oleh Nabi Saw untuk menyelesaikan sengketa dinding antara tetangga yang masing-masing mengaku bahwa dinding itu miliknya.
Di antara ijtihad shahabat yang dilakukan pada zaman nabi Muhammad Saw  adalah sebagai berikut:
a.       Suatu hari shahabat Nabi Saw berkunjung ke Bani Quraizhah. Kepada mereka, Nabi bersabda, “La Yushaliyanna ahadukum al-‘Ashra illa fi bani Quraizhah; jangan sekali-kali kamu melaksanakan shalat asar kecuali di Bani Quraizhah. “sebelum sampai ke Bani Quraizhah, waktu Asar hampir habis. Sebagian shahabat berijtihad dengan melakukan shalat di perjalanan. Berdasarkan ijtihadnya, perintah tersebut adalah supaya shahabat melakukan perjalanan secara cepat sehingga bisa sampai di Bani Quraizhah sebelum waktu shalat Asar habis. Sebagian shahabat lagi berpegang kepada makna tersurat sabda Nabi Saw tersebut, sehingga mereka shalat Asar di bani Quraizhah pada malam hari. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, mereka adalah ahl al-zhahir pertama dan ahl al-ma’na pertama. Muhammad Salam Madkur mangatakan, ketika berita ikhtilaf itu sampai kepada Nabi Saw, beliau membenarkan kedua tindakan shahabat tersebut.
b.      Dua orang shahabat melakukan perjalanan. Ketika waktu shalat tiba, mereka tidak mendapatkan air untuk berwudlu. Keduanya bertayamum dan kemudian shalat. Setelah shalat selesai, mereka mendapatkan air. Seorang shahabat berwudlu dan kemudian shalat kembali; sedangkan shahabat yang satu kagi tidak. Kemudian keduanya dating kepada Rasul Saw dan menceritakan pengalamannya. Kepada yang tidak berwudlu dan tidak mengerjakan shalat, Nabi Saw bersabda, “Ashabta al-Sunnah”; Engkau mengerjakan sesuai Sunnah.” Sedangkan kepada shahabat yang berwudlu dan mengerjakan shalat, Nabi Saw bersabda, “al-Ajr marratain; Engkau mendapatkan pahala dua kali.”[15]
Adapun cara ijtihad yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1.      Menetapkan hukum dengan dasar ra’yu perorangan (Ijtihad Fardi)
2.      Menetapkan hukum dengan dasar mengadakan ijma’ (Ijtihad Jama’i)
Para shahabat yang memegang ijtihad pada periode ini, menetapkan hokum dan dalil-dalilnya melalui al-Qur’an dan Sunnah, sesudah mereka selidiki secara benar-benar baru mereka menggunakan penyelidikan akal dan memakai keputusan yang sempurna.[16]



F. Hikmah Ijtihad Pada Masa Rasulullah Saw
Setelah kita mengetahui bagaimana ijtihad pada masa Rasulullah Saw, alangkah baiknya jika kita mengetahui hikmah dari ijtihad tersebut, yaitu:
1.      Ijtihad Rasul sangat diperlukan untuk memperoleh penjelasan atau keputusan hokum mengenai suatu peristiwa dengan segera terhadap suatu hokum yang tidak ada dalam wahyu Allah SWT.
2.      Ijtihad adalah perbuatan manusia, dengan berrijtihad akan menunjukkan kepada umat bahwa, Rasul adalah manusia juga seperti manusia lainnya. Hanya saja apabila ijtihad Rasulullah keliru, maka kekeliruan itu langsung diingatkan oleh Allah dan dibenarkan atau diluruskan.[17]



BAB III
PENUTUP

            Dari beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1.      Sejarah penetapan hukum Islam tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosio-kultural masyarakat Arab Jahiliyah. Pola kehidupan masyarakat Arab pada masa itu dengan cara berpindah-pindah (nomaden).
2.      Tarikh tasyri’ pada periode Rasulullah  Saw dibagi menjadi dua fase, yaitu fase Makkah dan fase madinah. Fase Makkah dengan ciri-ciri:
a.       Jumlah muslim masih minoritas
b.      Kekuatan yang dimiliki masih sangat lemah
c.       Dikucilkan dari masyarakat Mekkah saat itu (blokade ekonomi)
Sedangkan fase Madinah dengan cirri-ciri:
a.       Jumlahnya telah banyak serta berkualitas
b.      Mengeliminasi permusuhan dalam rangka mengesakan Allah SWT
c.       Telah adanya syariat Islam untuk mencapai kebaikan dalam masyarakat
d.      Membentuk aturan damai dalam perang
3.      Sumber-sumber tarikh tasyri’ yang digunakan pada masa Rasulullah adalah al-Qur’an dan al-hadis.
4.      Apabila terjadinya suatu peristiwa yang menghendaki adanya hokum mungkin  timbul karena adanya suatu pertanyaan atau perselisihan bahkan atas permintaan Rasul, maka Allah mewahyukan kepada Rasul-Nya ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan hukum yang dikehendaki untuk disampaikan kepada umatnya. Tetapi jika hokum yang dikehendaki itu tidak ada dalam al-qur’an, maka Rasulullah Saw melakukan Ijtihad. Yang mana apabila Ijtihad rasul itu salah, maka Allah SWT akan mengingatkan dan membenarkannya.
5.      Pada masa Rasullah Saw sudah ada Ijtihad yang dilakukan oleh para shahabat, akan tetapi Ijtihad yang dilakukan oleh para shahabat tersebut hanya terbatas pada waktu-waktu tertentu saja. Karena sulitnya untuk dikembalikan kepada Rasul sebab jarak atau khawatir akan hilangnya kesempatan dan waktu.


DAFTAR PUSTAKA

Amstrong, Karen. 2007. Sejarah Muhammad. Magelang: Purtaka Horizona.
Daud Ali, Muhammad. 2005. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
H. Hart, Michael.1978. Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Jakarta: PT. Dunia Pustaka, Jaya 1982.
Jaih Mubarok, Jaih. 2003. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
Jazuni. 2005. Legislasi Hokum Islam Di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Roibin. 2007. Tasyri’ Dalam Lintasan Sejarah (Telaah Sosio Historis Atas Kondisi Tasyri’ Islam). Malang: Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN)
Subhani, Ja’far. 2006. Sejarah Nabi Muhammad SAW. Jakarta: Lentera.
Zainuddin, Ali. 2006. Hokum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Zuhri, Muhammad. 1996. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.


[1] Michael H. Hart , Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, 1978 (Jakarta: PT. Dunia Pustaka, Jaya 1982), hlm. 1

[2] Ja’far  Subhani,  Sejarah Nabi Muhammad SAW, (Jakarta: Lentera, 2006),  hlm.11
[3] Karen Amstrong, Sejarah Muhammad, (Magelang: Purtaka Horizona, 2007), hlm.81
[4] Ibid., hlm.84
[5] Muhammad Zuhri. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada,1996), hlm.5
[6] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2003), hlm.22-23
[7] Roibin, Tasyri’ Dalam Lintasan Sejarah (Telaah Sosio Historis Atas Kondisi Tasyri’ Islam), (Malang: Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, 2007), hlm19-20
[8] Jaih Mubarok, Op.cit., hlm. 24
[9] Muhammad Daud Ali. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Hal:97
[10] Zainuddin Ali, Hokum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. hlm.34
[11] Jazuni, Legislasi Hokum Islam di Indonesia. hlm.29
[12]Roibin, Op.cit., hlm. 23
[13] Jaih Mubarok, Op.cit., hlm.30-33
[14] Roibin, Op.cit., hlm.23
[15] Jaih Mubarok, Op.cit., hlm.33-34
[16] Roibin, Op.cit., hlm.24
[17] Ibid., hlm.25-26

No comments:

Post a Comment