BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Muhammad adalah
seorang revolusioner sejati, keberhasilannya merubah pola kehidupan masyarakat
Arab hingga seluruh belahan dunia dalam berbagai aspek kehidupan, menjadikannya
layak mendapat julukan ini. Setidaknya pendapat ini diyakini oleh semua umat
Islam dan sebagian orientalis. Michael H. Hart dalam bukunya yang berjudul 100
Tokoh yang Paling Bepengaruh di Dunia menempatkan Nabi Muhammad dalam
urutan pertama. Ia mengatakan bahwa Muhammad adalah sosok manusia yang berhasil memimpin dan menyebarkan Agama Islam
hingga seluruh dunia. [1]
Namun, setelah terjadinya perang salib akibat gerakan ekspansi kekuasaan dan
keagamaan yang dilakukan oleh pasukan Islam sejak masa Khulafa’ ar-Rasyidun
menimbulkan kebencian dikalangan umat Kristen terhadap sosok Nabi Muhammad Saw. Kebencian
ini diwujudkan melalui berbagai cara, misalnya saja melalui propaganda
melalui pendapat, tulisan-tulisan, buku yang semuanya bertujuan menjatuhkan
pamor Muhammad dihadapan umatnya dan umat manusia lainnya.
Al-Qur’an dan
al-Hadits yang menjadi sumber hukum Islam juga tidak lepas dari sasaran sebagian
orientalis yang tidak menghendaki Islam berkembang. Mereka mengatakan bahwa
al-Qur’an merupakan karya Muhammad yang disesuaikan dengan kondisi Arab pada
masa itu. Sehingga al-Qur’an tidaklah wajib diimani. Hal ini kemudian
bertentang dengan doktrin Islam yang tercantum dalam al-Qur’an yang mengatakan
bahwa al-Quran berasal dari Allah SWT. dan tidak ada campur tangan manusia sama sekali di
dalamnya, meskipun unsur kebudayaan Arab pada masa itu menjadi latar belakang
turunyna ayat-ayat al-Quran.
Sejarah
penetapan hukum Islam (tarikh Tasyri’) tidak terlepas dari fenomena di atas. Proses
penurunan ayat-ayat al-Quran hingga masa wafatnya Nabi Saw. merupakan informasi otentik untuk menjawab
pertanyaan Benarkah
al-Qur’an? Bagaimana
proses tasyri’ pada masa Rasulullah?
Benarkah
kondisi masyarakat Arab pada masa itu mempengaruhi Rasulullah dalam melakukan
Tasyri’?
B.
Rumusan
Masalah
Makalah ini akan mengkaji lebih detail tentang
berbagai permasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimana
sejarah Arab sebelum Islam datang?
2.
Bagaimana tarikh
tasyri’ pada periode Makkah dan Madinah?
3.
Apa saja
sumber-sumber tarikh tasyri’ pada masa Rasulullah?
4.
Bagaimana
kedudukan ijtihad Rasulullah Saw dalam penetapan hokum?
5.
Bagaimana
kedudukan ijtihad shahabat pada masa Rasulullah Saw?
6.
Apa saja hikmah
dari ijtihad Rasulullah Saw?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
sejarah Arab sebelum Islam dating.
2.
Mengetahui
tarikh tasyri’ pada periode Makkah dan Madinah.
3.
Mengetahui
sumber-sumber tarikh tasyri’ pada masa Rasulullah.
4.
Mengetahui
kedudukan ijtihad Rasulullah Saw dalam penetapan hokum.
5.
Mengetahui
kedudukan ijtihad shahabat pada masa Rasulullah Saw.
6.
Mengetahui
hikmah dari ijtihad Rasulullah Saw.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Arab Pra-Islam datang
Sejarah
penetapan hukum Islam tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosio-kultural
masyarakat Arab Jahiliyah. Masyarakat Arab Jahiliyah adalah masyarakat yang
memiliki ketaatan yang tinggi terhadap kepercayaan nenek moyang, berani, gemar
sastra dan jarang melanggar janji.[2]
Pola kehidupan masyarakat Arab pada masa itu dengan cara berpindah-pindah
(nomaden). Sebagian daerah Arab dikenal dengan wilayah yang gersang dan hanya sebagian kecil saja
yang memiliki sumber kehidupan berupa air dan rumput untuk binatang ternak. Kondisi
geografis yang tidak menguntungkan ini kemudian menjadikan persaingan antar
suku menjadi sangat sering terjadi. Suku yang memiliki kekuatan yang besar akan
semakin mudah menguasai daerah-daerah yang subur.
Kenyataan
ini membuat suku-suku di Arab membentuk suatu perkumpulan yang lebih besar.
Mereka juga menanamkan rasa kesetiaan pada kaum dan sekutu-sekutunya. Hanya
suku yang dapat menjamin keamanan anggotanya. Doktrin ini dinamai dengan muru’ah.
Muruah diartikan sebagai keberanian dalam berperang, pengabdian terhadap
tugas untuk melakukan pembalasan kesalahan yang dilakukan terhadap suku,
melindungi para anggota yang lemah dan menghadapi yang kuat.[3]
Doktrin ini dijaga dari generasi ke generasi, setiap anggota wajib membela
saudara sesuku dan taat terhadap pemimpin.
Selain
peperangan yang terjadi bertahun-tahun, banyak sisi negatif dari kebudayaan
masyarakat Arab Jahiliyah yang melanggar norma kemanusiaan. Hukum Alam sangat
menentukan nasib individu saat itu. Karen Amstrong mengatakan bahwa hanya yang
kuat yang bertahan dan itu berarti yang lemah dileyapkan atau dieksploitasi
secara memilukan. Perempuan
dianggap sebagai Sub Ordinat bagi laki-laki. Pembunuhan bayi, terutama terhadap
bayi perempuan yang cenderung lebih bertahan hidup daripada bayi laki-laki
menjadi cara yang lazim untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk.[4]
Bayi-bayi perempuan yang dibiarkan hidup hingga dewasa menjadi barang komoditi
perdagangan. Kedudukannya disamakan dengan harta benda, ia bisa dijual, dibuang, atau
diwariskan.
Dibidang
keagamaan, orang
Arab Pra-Islam memiliki beberapa tradisi menyembah tuhan. Ada yang menyembah
matahari, bulan, bintang, dan melalui
perantara berhala. Di antara berhala-berhala yang paling dikenal yaitu Manata,
Lata, dan Uzza. Orang-orang Arab yang menyembah berhala sebenarnya telah
mengenal Allah, sayangnya berhala-berhala tersebut dijadikan sebagai keluarga Allah dan wajib
pula untuk di sembah.[5]
Setiap tahunnya, masyarakat Arab Jahiliyah melakukan ibadan mengelilingi ka’bah
dengan cara mereka masing.
Dibidang
ekonomi, masyarakat Arab Jahiliyah mengandalkan penghasilannya dari sektor
perdagangan. Pedagang
yang memiliki modal besar akan lebih menguasai pasar dari pada pedagang yang
bermodal kecil. Sering terjadi tindakan diskriminasi. Hak-hak rakyat miskin
tidak pernah diperhatikan bahkan mereka sering kali ditindas, harta anak-anak
yatim dipergunakan dengan sewenang-wenang, dan masih banyak sisi gelap kondisi
masasyarakat Arab Pra-Islam.
Berpijak
pada fenomena sosio-kultural masyarakat Arab Jahiliyah yang tidak teratur dan
cenderung menimbulkan ketidakadilan, kehadiran Islam membawa sebuah reformasi
dan perbaikan dalam sistem kehidupan bermasyarakat dan beragama.
B. Tasyri’
Periode Mekkah Dan Madinah
Hukum islam pada
masa Nabi Muhammad Saw dapat
dibedakan menjadi dua fase:
fase Mekkah dan Madinah. Adapun
masyarakat
pada fase Mekkah dapat di cirikan sebagai berikut:
1.
Jumlah muslim masih minoritas
2. Kekuatan
yang dimiliki masih sangat lemah
3.
Dikucilkan dari
masyarakat Mekkah saat itu (blokade ekonomi)
Oleh karena itulah langkah awal
yang dilakukan Nabi Muhammad Saw saat itu adalah menguatkan akidah terlebih
dahulu sebagai pondasi amaliah ibadah.
Dengan mengokohkan akidah diharapkan para
muallaf tidak kembali lagi pada kepercayaannya semula, seperti berperang
(membunuh), zina, mengubur anak perempuan hidup-hidup. Selain itu mereka juga
diharapkan dapat menegakkan keadilan, kebaikan, dan saling tolong-menolong.
Dalam al-Qur’an fase
Mekkah ayat yang turun rata-rata seputar penolakan terhadap syirik dan mengajak
kepada ketauhidan dan hikmah dari kisah terdahulu. Pada fase ini al-Qur’an masih
sedikit membahas masalah ibadah kecuali setelah hijrah tetapi erat kaitannya
dengan ibadah, seperti pengharaman bangkai, darah, semblihan yang tidak
menyebutkan nama Tuhan.
Setelah berusaha
13 tahun dan kurang mendapatkan tempat
dihati masyarakat Mekkah bahkan saat itu Rasulullah beserta umat muslim
dimusuhi, maka Rasulullah memutuskan untuk hijrah ke Madinah.
Pada saat Rasulullah
hijrah ke Madinah,
beliau disambut dengan meriah oleh pengikut-pengikutnya, selain itu umat muslim
sudah bisa meninggalkan aqidah lamanya. Ciri-ciri masyarakat fase Madinah sebagai
berikut:[6]
1. Jumlahnya
telah banyak serta berkualitas
2. Mengeliminasi
permusuhan dalam rangka mengesakan Allah
SWT
3. Telah
adanya syariat Islam untuk
mencapai kebaikan dalam masyarakat
4. Membentuk
aturan damai dalam perang
Adapun syariat yang muncul ketika
fase Madinah seperti muamalat, jihad, jinayat, mawarits, wasiat, talak, sumpah, dan peradilan.
Pada fase ini
dapat dijelaskan bahwa kekuasaan hukum didasarkan kepada Rasulullah Saw secara
langsung tanpa campur tangan orang lain. Sementara sumber yang digunakan adalah
wahyu, baik yang matlu yaitu al-Quran ataupun ghoiru matlu yaitu Sunnah, sehingga
pada masa ini belum penah terjadi perselisihan dalam hukum. Dan kebanyakan dari
ayat-ayat yang diturunkan berkenaan atau sesuai dengan suatu peristiwa atau
menjadi jawaban dari pertanyaan.
Oleh karena itu,
pada fase ini Islam telah terbina menjadi satu kekuatan dalam pemerintahan. Dan
sumber hukum bukan hanya al-Qur’an dan Hadits, tetapi telah diakui bahwa nabi
berijtihad dalam sebagian hukum dan maengakui ijtihad sahabat dari sebagian
yang lain.[7]
C. Sumber
Tasyri’ pada Periode Rasulullah Saw
Dalam
kepustakaan hukum Islam, sumber hukum Islam seorang juga disebut dengan dasar
hukum atau dalil hokum. Sumber adalah asal sesuatu, dan arti sumber hukum Islam
sendiri adalah asal (tempat pengambilan) hukum Islam. Dalam al-Qur’an Surat an-Nisa’:
59 disebutkan bahwa setiap muslim wajib mengikuti kehendak Allah, kehendak Rasul
dan kehendak ulil ‘amri yakni orang yang mempunyai “kekuasaan” berupa ilmu
pengetahuan untuk mengalirkan ajaran hukum Islam dari dua sumber utamanya yakni
al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad.
Perundang-undangan
di masa Rasul
mempunyai dua sumber yaitu wahyu Allah dan sunnah Rasul, yang tidak
terlepas dari pengawasan Allah. Bahwa tiap-tiap hukum dalam al-Qur’an disyariatkan untuk
sesuatu kejadian yang memerlukan penetapan hukumnya.
1. Al-Quran
adalah sumber hukum pertama dan utama. Ia memuat kaidah-kaidah hukum
fundamental (asasi) yang perlu dikaji dengan teliti dan dikembangkan lebih
lanjut. al-Quran berasal dari kata qara-a (membaca) berubah menjadi kata benda
qur’an berarti bacaan atau sesuatu yang harus dibaca dan dipelajari. Al-Qur’an
adalah wahyu Allah yang berfungsi sebagai mukjizat bagi Muhammad, sebagai
pedoman hidup bagi setiap muslim dan sebagai korektor dan penyempurna
kitab-kitab Allah sebelumnya. Sayaknid Husein Nasr berkata bahwa al-Qur’an mempunyai
tiga petunjuk bagi manusia Pertama, adalah ajaran yang memberi pengetahuan
tentang berbagai hal baik jagat raya maupun makhluk yang mendiaminya, termasuk
ajaran tentang keyakinan atau iman, hukum atau syariat, dan moral atau akhlak.
Kedua, al-Qur’an berisi sejarah atau kisah-kisah manusia zaman dulu termasuk
kejadian para Nabi, dan berisi pula tentang petunjuk di hari kemudian atau
akhirat. Ketiga, al-Qur’an berisi pula sesuatu yang sulit dijelaskan dengan
bahasa biasa karena mengandung sesuatu yang berbeda dengan yang kita pelajari
secara rasional.
Akomodasi
Hukum Islam dalam al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyu Allah kepada Nabi
Muhammad Saw, “akomadatif” terhadap hokum yang hidup dan berkembang di
masyarakat Arab pra-Islam. Dalam al-Qur’an terdapat tawaran perbaikan yang
berupa pembatalan dan perubahan, di antaranya adalah:[8]
·
Hokum Poligini
Perkawinan telah dilakukan manusia sebelum al-Qur’an
diturunkan. George Whitecroos Paton (1955: 438) menjelaskan bahwa pada awalnya,
manusia melakukan persetubuhan secara bebas tanpa ada paksaan. Pada fase kedua
dilakukan melalui perkawinan poliandri, yaitu seorang perempuan memiliki banyak
suami; fase ketiga adalah poligini, yaitu seorang suami memiliki banyak istri;
dan yang terahir adalah monogami, yaitu seorang laki-laki hanya memilki seorang
istri dan sebaliknya seorang istri memiliki seorang suami.
Friederick Engels (sebagimana dikutip oleh Arif
Budiman, 1985:49) juga menjelaskan tentang evolusi perkawinan yang hampir sama
dengan penjelasan di atas, yaitu: perkawinan masyarakat liar, perkawinan masyarakat Barbar, dan perkawinan masyarakat
beradab. Perkawinan Barbar adalah seorang laki-laki menikah dengan seorang
perempuan tetapi, baik laki-laki maupun perempuan, di samping memiliki istri
atau suami utama, memilki pula istri-istri atau suami-suami lain. Dengan
demikian, perkawinan Barbar adalah poligami. Poligami mengandung dua arti:
poligini dan poliandri. Poligini adalah seorang suami yang memilki istri
banyak. Sedangkan poliandri adalah seorang istri memiliki suami banyak.
Perkawinan masyarakat beradab adalah monogamy, yaitu
seorang suami hanya memiliki seorang istri dan sebaliknya. Di dunia islam,
pendapat yang mengatakan bahwa semangat al-Qur’an itu monogami, diantaranya
dikemukakan oleh Fazlur Rahman. (Muhammad Azhar, 1966:75-6)
Tawaran perubahan yang terdapat dalam al-Qur’an adalah
pernikahan poligini, poliandri diharamkan dengan jumlah istri yang dibatasi,
yaitu empat orang (QS. al-Nisa’ 4: 3)
·
Syarat-Syarat Penerimaan Harta Pusaka
Pembagian harta pusaka telah dilakukan penduduk Arab
pra-Islam. Dalam tradisi nenek moyang
mereka terdapat ketentuan utama bahwa anak yang belum dewasa dan perempuan
tidak berhak mendapatkan harta pusaka (Fatchur Rahman, 1987: 11). Adapun
syarat-syarat mempusakai pada zaman Arab Jahiliah adalah (1) pertalian kerabat,
(2) janji setia, dan (3) adopsi.
Pada dasarnya, setiap yang mempunyai hubungan kerabat,
orang yang mempunyai ikatan janji setia, dan anak angkat adalah ahli waris.
Meraka berhak mendapatkan harta pusaka apabila telah memenuhi syarat, yaitu (1)
dewasa, (2) laki-laki (Fatchur Rahman 1987: 12-3). Dengan demikian, ahli waris
dari golongan kerabat terdiri dari atas laki-laki, yaitu (1) anak laki-laki,
(2) saudara laki-laki, (3) paman, dan (4) anak paman. (Fatchur Rahman 1987: 13)
Pada zaman awal Islam (setelah Nabi Saw dan sahabat
hijrah ke Madinah) selain karena pertalian nasab atau kerabat, terdapat tiga
sebab mendapatkan harta pusaka, yaitu (1) adopsi, (2) hijrah, dan (3)
persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar). (Fatchur Rahman 1987: 16-7)
Akomodasi al-Qur’an terhadap tradisi Arab pra-Islam di
antaranya dengan menjadikan perempuan sebagai anggota keluarga yang mendapatkan
harta pusaka baik sebagai anak, istri, ibu maupun saudara. Pokok- pokok
hokum waris dicantumkan dalam surat
al-Nisa’ 4: 7-14. Hal lainnya adalah dibatalkannya saling mewarisi yang
disebabkan oleh adopsi (QS. al-Ahzab 33: 4-5).
2. As-Sunnah
atau al-Hadist adalah sumber hokum islam kedua setelah al-Qur’an. Menurut ulama
ahli ushul, hadis adalah “segala perkataan, segala perbuatan, dan segala
ketetapan Nabi Muhammad Saw, yang berkaitan dengan hokum”.[9]
ketentuan hokum dalam hadis, dalam hubungannya dengan al-Qur’an ada tiga macam.
Pertama, hadis memuat hokum yang sesuai dengan hokum yang ada dalam al-Qur’an.
Dalam hal ini hadis memperkuat hokum yang ada dalam al-Qur’an atau mengulangi
apa yang dikatakan dalam al-Qur’an, sehingga suatu perbuatan mempunyai dua
sumber sekaligus. Kedua, hadis memuat hokum yang menjelaskan hokum dalam al-Qur’an.
Penjelasan ini dapat berupa:
·
Merinci yang umum (seperti perincian tata cara
shalat) misalnya; al-Qur’an menyatakan perintah shalat :
وَأَقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَآتُوْا الزَّكَاةَ وَمَا
تُقَدِّمُوْا لِأَنْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللهِ إِنَّ اللهَ
بِمَا تَعْمَلُوْنَبَصِيْرٌ.
110. Dan
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu
usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah.
Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (QS.
Al-Baqarah: 110)
Shalat dalam ayat ini masih
bersifat umum, maka as-Sunnah merinci secara operasional, baik kaifiyatnya,
(bacaanya dan gerakannya). Nabi bersabda: shalat kamu sebagaimana kamu melihat
aku shalat (al-Hadis). Demikian pula status hukumnya wajib atau sunnah,
misalnya orang Badui bertanya kepada Rasulullah beritahukan kepadaku shalat
yang difardhukan untukku? Rasulullah berkata: “shalat lima waktu, yang lainnya sunnah”.(HR. Bukhari
dan Muslim)
·
Membatasi yang mutlak (seperti batasan wasiat,
sepertiga) misalnya dalam al-Qur’an menyatakan:
وَقَالُوْا لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ
إِلاَّ أَيَّامًا مَّعْدُوْدَةً قُلْ أَتَّخَذْتُمْ عِنْدَ اللهِ عَهْدًا فَلَنْ
يُخْلِفَ اللهُ عَهْدَهُ أَمْ تَقُوْلُوْنَ عَلَى اللهِ مَالاَ تَعْلَمُوْنَ.
80. Dan mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak akan disentuh
oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja." Katakanlah:
"Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan
memungkiri janji-Nya, ataukah kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang
tidak kamu ketahui?" (QS. Al-Baqarah: 80)
Mengenai hal ini, as-Sunnah memberikan batas mengenai banyaknya wasiat
agar tidak melebihi sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Hal ini disampaikan
oleh Rasulullah Saw. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan muslim dari
Saad bin Abi Waqash ra. Yang menanyakan kepada Rasulullah Saw. Tentang jumlah
wasiatny, Rasulullah melarang memberikan wasiat seluruhnya, tetapi hanya
menyetujui sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkan.[10]
Ketiga, hadis memuat hokum baru yang tidak disebutkan
dalam al-Qur’an secara jelas. Dalam hal ini seolah-olah Nabi menetapkan hokum
sendiri. Namun sebenarnya bila diperhatikan dengan seksama, apa yang ditetapkan
oleh Nabi itu pula hakikatnya adalah penjelasan apa yang disinggung Allah dalam
al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan Allah secara terbatas. Dari segi
jumlah periwayatan, ulama Hanafiyah membagi hadis menjadi tiga, yaitu:
·
Hadis mutawatir, yaitu hadis yang diriwayatkan
dari Nabi Saw. Pada masa sahabat, tabi’in, tabi’it-tabi’in oleeh orang banyak
dan tidak munkin mereka berdusta,
·
Hadis masyhur, yaitu hadis yang diriwayatkan
dari Nabi Saw. Pada masa sahabat oleh orang banyak tetapi tidak sampai batasan
mutawatir,
·
Hadis ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan dari
Nabi Saw. Pada masa sahabat, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in oleh orang yang
jumlahnya tidak sampai batas mutawatir.
Penggolongan hadis tersebut di atas berkaitan dengan
kedudukannya sebagai sumber hokum. hadis mutawatir menimbulkan keyakinan
tentang kebenaran isinya dan harus diikuti. Oleh karena jumlah periwayatannya
menjadi jaminan tidak adanya kesepakatan untuk berdusta, maka hadis mutawatir
tidak menjadi objek pembicaraan ilmu hadis dari segi kualitasnya maqbul
(diterima sebagai sumber hukum) atau mardud (ditolak menjadi sumber hokum).
pembicaraan tentang kualitas hadis berlaku pada hadis ahad. Hadist ahad yang
shahih dan hadis ahad yang hasan nilainya maqbul (diterima sebagai sumber
hukum), sedangkan hadis ahad yang dhaif nilainya mardud (ditolak sebagai sumber
hokum).[11]
D. Ijtihad Nabi
Muhammad Saw
Pada
saat Rasulullah masih hidup, penentuan hukum berdasarkan atas dua sumber yaitu
wahyu Allah dan ijtihad Rasulullah Saw. Terjadinya suatu peristiwa yang
menghendaki adanya hukum dapat timbul karena adanya suatu pertanyaan atau
perselisihan bahkan atas permintaan Rasul, maka Allah mewahyukan kepada
Rasul-Nya ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan hukum yang dikehendaki untuk
disampaikan kepada umatnya.[12]
Para
ulama berikhtilaf tentang ijtihad Nabi Muhammad Saw terhadap sesuatu yang tidak
ada ketentuan nash dari Allah. Sebagian ulama Asy’ariyah dan kebanyakan
ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw tidak boleh melakukan
ijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash, yang berhubungan dengan
amaliah tentang halal dan haram. Sedangkan ulama ushul, di antaranya Abu
Yusuf al-Hanafi dan al-Syafi’i membolehkannya.
Sebagian
shahabat al-Syafi’I al-Qadli Abd al-Jabar, dan Abu Hasan al-Bashri berpendapat
bahwa Nabi Muhammad Saw melakukan ijtihad dalam berperang, bukan dalam bidang hukum.
Menurut sebagian
ulama, Nabi Saw tidak berijtihad sebab perkataan, perbuatan, dan ketetapannya
adalah al-Sunnah – sunber atau dalil hukum islam kedua – juga berdasar
firman Allah:
وَمَا يَنْطِقُ
عَنِ اْلهَوَى {3} إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْ حَى {4}
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa
nafsunya; ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. al-Najm: 3-4)
Ijtihad
Nabi Muhammad Saw telah diteliti secara khusus oleh Abd al-jalil ‘Isa dengan
judul Ijtihad al-Rasul Salla Allah ‘alaihi wa Sallam yang diterbitkan
o;eh Dar al-Bayan di Beirut.
Dalam buku tersebut, Abd al-Jalil ‘Isa mengemukakan pendapat ulama yang
membolehkan Nabi Muhammad Saw melakukan ijtihad.
Dalam
kitab al-Fishal fi al-Mihal wa al-Ahwa wa al-Nihal, Ibnu Hazm berkata,
“Kadang-kadang para Nabi bermaksud memutuskan dan atau mengerjakan sesuatu
untuk mendapatkan ridla Allah, tetapi ternyata keputusan dan pekerjaannya tidak
sesuai dengan kehendak Allah, seperti peristiwa perceraian Zainab dengan Zaid
ibn Haritsah dan kemudian Zainab kawin dengan Nabi Muhammad Saw; dan peristiwa
Ibnu Umi Maktum.
Al-Qadli
‘Iyadl, dalam kitab al-Syifa’, berpendapat bahwa Nabi Muhammad
berijtihad tentang masalah duniawi. Salah satu contohnya adalah strategi perang
yang dikemukakan oleh Nabi Muhammad Saw dalam Perang Khandaq. Strategi perang
yang ditetapkan Nabi Muhammad Saw ditolak oleh kalangan Anshar.
‘Abd
al-Jalil ‘Isa mengungkapkan beberapa contoh ijtihad yang dilakukan Nabi
Muhammad Saw, diantaranya sebagai berikut:
a. Ketika ditanya tentang cara memperlakukan anak-anak
Musyrikin yang ikut dalam berperang, Nabi Muhammad Saw menjawab, ”Mereka
diperlakukan seperti bapak-bapaknya.”
b. Qiblat umat Islam sebelum ditetapkan oleh Allah SWT
adalah Bait al-Maqdis. Umat Islam shalat menghadap ke Bait al-Maqdis selama 16
atau 17 bulan. Shalat ke Bait al-Maqdis adalah ijtihad Nabi Muhammad Saw.
c. ‘Abd Allah ibn Ubai (tokoh munafik) dating kepada Nabi
Muhammad Saw dan meminta beliau agar beristigghfar (memohonkan ampunan kepada
Allah) unutknya. Kemudian nabi Muhammad Saw memohon kepada Allah agar ‘Abd
Allah ibn Ubai diampuni. Di samping itu, Nabi Muhammad Saw memohon kepada Allah
agar Abd Allah ibn Ubai diberi petunjuk oleh Allah. Kemudian Allah berfirman;“kamu
memmohonkan ampun bagi mereka (orang-orang munafik) atau kamu tidak memohonkan
ampun bagi mereka (adalah sama saja).” (QS. al-Taubah: 80)
Demikian
beberapa contoh ijtihad yang dikemukakan oleh ‘Abd al-Jalil ‘Isa dan Muhammad
Salam Madkur. Karena melakukan ijtihad, Nabi Muhammad Saw kemungkinan salah
dalam ijtihadnya. Dalam menanggapi hal ini, ulama berbeda pendapat. Menurut
al-Syafi’iyah, Nabi Muhammad Saw tidak akan salah dalam berijtihad; sedangkan
al-Juba’I dan Mu’tazilah berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw bisa salah dalam
berijtihad tetapi kemudian ditegur oleh Allah atau shahabat.[13]
E. Ijtihad Shahabat
Pada Masa Nabi Muhammad Saw
Dalam
periode ini telah terjadi sumber tasyri’ yang pertama yakni al-Qur’an yang mempengaruhi
terhadap perundang-undangan Islam, sedangkan sumber hokum yang utama yang
dijadikan pegangan dalam periodesasi ini adalah al-qur’an dan al-Hadits.[14]
Disamping
al-Qur’an dan Sunnah, terdapat sumber hokum yang ketiga, yaitu ijtihad. Dari segi cara, ijtihad adalah
metode penggalian hukum islam; sedangkan dari segi “hasil”, ia (hasil ijtihad)
termasuk sumber hokum islam.
Diantara
shahabat yang melakukan ijtihad pada zaman Nabi Muhammad Saw adalah mereka yang
diutus untuk mennjadi qadli atau hakim. Diantaranya ‘Ali ibn Abi Thalib
yang diutus oleh Rasul Saw untuk menjadi hakim di Yaman; Mu’adz ibn Jabalyang
diutus oleh Nabi Saw menjadi hakim di Yaman; dan khuzaifah al-Yamani yang
diutus oleh Nabi Saw untuk menyelesaikan sengketa dinding antara tetangga yang
masing-masing mengaku bahwa dinding itu miliknya.
Di
antara ijtihad shahabat yang dilakukan pada zaman nabi Muhammad Saw adalah sebagai berikut:
a. Suatu hari shahabat Nabi Saw berkunjung ke Bani
Quraizhah. Kepada mereka, Nabi bersabda, “La Yushaliyanna ahadukum al-‘Ashra
illa fi bani Quraizhah; jangan sekali-kali kamu melaksanakan shalat asar
kecuali di Bani Quraizhah. “sebelum sampai ke Bani Quraizhah, waktu Asar hampir
habis. Sebagian shahabat berijtihad dengan melakukan shalat di perjalanan.
Berdasarkan ijtihadnya, perintah tersebut adalah supaya shahabat melakukan
perjalanan secara cepat sehingga bisa sampai di Bani Quraizhah sebelum waktu
shalat Asar habis. Sebagian shahabat lagi berpegang kepada makna tersurat sabda
Nabi Saw tersebut, sehingga mereka shalat Asar di bani Quraizhah pada malam
hari. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, mereka adalah ahl al-zhahir pertama
dan ahl al-ma’na pertama. Muhammad Salam Madkur mangatakan, ketika
berita ikhtilaf itu sampai kepada Nabi Saw, beliau membenarkan kedua tindakan
shahabat tersebut.
b. Dua orang shahabat melakukan perjalanan. Ketika waktu
shalat tiba, mereka tidak mendapatkan air untuk berwudlu. Keduanya bertayamum
dan kemudian shalat. Setelah shalat selesai, mereka mendapatkan air. Seorang
shahabat berwudlu dan kemudian shalat kembali; sedangkan shahabat yang satu
kagi tidak. Kemudian keduanya dating kepada Rasul Saw dan menceritakan
pengalamannya. Kepada yang tidak berwudlu dan tidak mengerjakan shalat, Nabi
Saw bersabda, “Ashabta al-Sunnah”; Engkau mengerjakan sesuai Sunnah.”
Sedangkan kepada shahabat yang berwudlu dan mengerjakan shalat, Nabi Saw
bersabda, “al-Ajr marratain; Engkau mendapatkan pahala dua kali.”[15]
Adapun cara ijtihad yang dilakukan adalah sebagai
berikut:
1.
Menetapkan hukum
dengan dasar ra’yu perorangan (Ijtihad Fardi)
2.
Menetapkan hukum
dengan dasar mengadakan ijma’ (Ijtihad Jama’i)
Para
shahabat yang memegang ijtihad pada periode ini, menetapkan hokum dan
dalil-dalilnya melalui al-Qur’an dan Sunnah, sesudah mereka selidiki secara
benar-benar baru mereka menggunakan penyelidikan akal dan memakai keputusan
yang sempurna.[16]
F. Hikmah
Ijtihad Pada Masa Rasulullah Saw
Setelah
kita mengetahui bagaimana ijtihad pada masa Rasulullah Saw, alangkah baiknya
jika kita mengetahui hikmah dari ijtihad tersebut, yaitu:
1.
Ijtihad Rasul
sangat diperlukan untuk memperoleh penjelasan atau keputusan hokum mengenai
suatu peristiwa dengan segera terhadap suatu hokum yang tidak ada dalam wahyu
Allah SWT.
2.
Ijtihad adalah
perbuatan manusia, dengan berrijtihad akan menunjukkan kepada umat bahwa, Rasul
adalah manusia juga seperti manusia lainnya. Hanya saja apabila ijtihad
Rasulullah keliru, maka kekeliruan itu langsung diingatkan oleh Allah dan
dibenarkan atau diluruskan.[17]
BAB
III
PENUTUP
Dari beberapa uraian di atas, maka
dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1.
Sejarah penetapan hukum
Islam tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosio-kultural masyarakat Arab
Jahiliyah. Pola
kehidupan masyarakat Arab pada masa itu dengan cara berpindah-pindah (nomaden).
2.
Tarikh tasyri’
pada periode Rasulullah Saw dibagi
menjadi dua fase, yaitu fase Makkah dan fase madinah. Fase Makkah dengan
ciri-ciri:
a. Jumlah
muslim masih minoritas
b. Kekuatan
yang dimiliki masih sangat lemah
c. Dikucilkan
dari masyarakat Mekkah saat itu (blokade ekonomi)
Sedangkan fase Madinah dengan cirri-ciri:
a. Jumlahnya
telah banyak serta berkualitas
b. Mengeliminasi
permusuhan dalam rangka mengesakan Allah
SWT
c. Telah
adanya syariat Islam untuk
mencapai kebaikan dalam masyarakat
d. Membentuk
aturan damai dalam perang
3.
Sumber-sumber
tarikh tasyri’ yang digunakan pada masa Rasulullah adalah al-Qur’an dan
al-hadis.
4.
Apabila
terjadinya suatu peristiwa yang menghendaki adanya hokum mungkin timbul karena adanya suatu pertanyaan atau
perselisihan bahkan atas permintaan Rasul, maka Allah mewahyukan kepada
Rasul-Nya ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan hukum yang dikehendaki untuk
disampaikan kepada umatnya. Tetapi jika hokum yang dikehendaki itu tidak ada
dalam al-qur’an, maka Rasulullah Saw melakukan Ijtihad. Yang mana apabila
Ijtihad rasul itu salah, maka Allah SWT akan mengingatkan dan membenarkannya.
5.
Pada masa
Rasullah Saw sudah ada Ijtihad yang dilakukan oleh para shahabat, akan tetapi
Ijtihad yang dilakukan oleh para shahabat tersebut hanya terbatas pada
waktu-waktu tertentu saja. Karena sulitnya untuk dikembalikan kepada Rasul
sebab jarak atau khawatir akan hilangnya kesempatan dan waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, Karen. 2007. Sejarah Muhammad. Magelang: Purtaka Horizona.
Daud Ali, Muhammad. 2005. Hukum Islam
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
H. Hart,
Michael.1978. Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh
dalam Sejarah. Jakarta:
PT. Dunia Pustaka, Jaya 1982.
Jaih Mubarok, Jaih. 2003. Sejarah
dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya Offset.
Jazuni. 2005. Legislasi
Hokum Islam Di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Roibin. 2007. Tasyri’
Dalam Lintasan Sejarah (Telaah Sosio Historis Atas Kondisi Tasyri’ Islam). Malang: Fakultas Syari’ah
Universitas Islam Negeri (UIN)
Subhani, Ja’far. 2006. Sejarah Nabi Muhammad
SAW. Jakarta: Lentera.
Zainuddin, Ali. 2006. Hokum Islam
Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika.
Zuhri,
Muhammad. 1996. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[1] Michael
H. Hart , Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, 1978
(Jakarta: PT. Dunia Pustaka, Jaya 1982), hlm. 1
[5] Muhammad Zuhri. Hukum Islam dalam
Lintasan Sejarah, (Jakarta:PT. RajaGrafindo
Persada,1996), hlm.5
[6] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset, 2003), hlm.22-23
[7] Roibin, Tasyri’ Dalam Lintasan Sejarah (Telaah Sosio Historis Atas
Kondisi Tasyri’ Islam), (Malang: Fakultas
Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang,
2007), hlm19-20
[12]Roibin, Op.cit.,
hlm. 23
No comments:
Post a Comment