BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kehidupan manusia pada dasarnya sangat tergantung kepada apa yang
Allah sediakan di alam semesta. Tidak semua yang tersedia di alam semesta ini
bisa digunakan dan dimanfaatkan untuk menunjang kehidupan manusia, tentu ada
beberapa hal yang tidak boleh digunakan untuk kelangsungan hidup manusia.
Oleh karena itu, dengan mengkaji dan mempelajari hadits rasul
berkaitan dengan hala, haram dan syubhat, seyogyanya manusia mampu mengetahui
hal-hal yang boleh dan tidak boleh digunakan dan dimanfaatkan untuk kelangsungan
hidupnya.
Begitu pula dalam menjalani kehidupan, umat manusia berada dalam
kondisi zaman yang penuh dengan kesemerawutan. Banyak sekali terdapat
kemaksiatan dan kemunkaran. Oleh karena itu, sebagai umat muslim kita harus
senantiasa menjalankan amar ma’ruf dan nahyi munkar sesuai dengan yang
dicontohkan oleh Rasulullah saw.
B.
Rumusan
Masalah
Beberapa hal yang penulis angkat dalam makalah ini adalah:
1.
Ketentuan
halal, haram dan syubhat menurut hadits rasul
2.
Amar
ma’ruf dan nahyi munkar menurut hadits rasul
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan yang hendak penulis capai dengan adanya makalah ini
adalah:
1.
Memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Hadits II
2.
Menjadi
salah satu bahan dan sumber diskusi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
halal, haram dan syubhat serta amar ma’ruf dan nahyi munkar berdasarkan hadits
rasul
3.
Agar
mahasiswa mampu mengetahui batasan-batasan halal, haram dan syubhat
4.
Agar
mahasiswa mampu melaksakan amar ma’ruf dan nahyi ,munkar berdasarkan ketentuan
yang dicontohkan oleh rasulullah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hadits
Halal, Haram dan Syubhat
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ) رواه البخاري ومسلم(
Artinya:
Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir r.a,”Saya
mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang
haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat
(samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka barang siapa yang
takut terhadap syubhat, berarti dia telah menyelamatkan agama dan
kehormatannya. Dan barang siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka
akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang
menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar (ladang) yang dilarang untuk
memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap
raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan.
Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka
baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh.
Ketahuilah bahwa dia adalah hati” (HR. Bukhari dan Muslim)
1.
Syarah
Hadits Halal, Haram dan Syubhat
Hadist
ini merupakan salah satu landasan pokok dalam syariat. Kata imam Abu Dawud, “Hadist
ini merangkum seperempat ajaran Islam. Barang siapa yang merenungkannya, ia
akan memperoleh semua kandungan yang disebutkan, karena hadist ini mengandung
penjelasan tentang halal, haram, syubhat, serta apa yang baik serta merusakkan
hati. Semua ini menuntut untuk mengetahui hukum syariat, baik pokok maupun
cabangnya. Hadist ini juga merupakan dasar bagi sikap wara’, yaitu meninggalkan
sesuatu yang syubhat (samar).” Para Ulama telah sepakat mengenai keagungan
hadist ini dan banyaknya faidah yang terkandung di dalamnya.
Hadist
ini mengabarkan kepada kita bahwa segala sesuatu itu terbagi menjadi tiga,
yaitu sebagai berikut :
a. Halal
Sesuatu
yang dinash halal oleh Allah. Tak diragukan lagi bahwa ia adalah halal. Seperti
daging hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allah, kurma, anggur, dan
lain-lain. Banyak disebutkan dalam hadist bahwa makanan-makanan tersebut halal
untuk dimakan. Kita harus berhati-hati dalam memilih dan memilah produk yang
halal. Terlebih dalam hal makanan, minuman, dan pakaian. Sebab, di antara
faktor terkabulknya doa adalah makanan atau minuman yang masuk ke dalam perut
kita harus halal. Begitu pun pakaian yang kita kenakan, harus berasal dari
sumber dan jenis yang halal.
b. Haram
Sesuatu
yang dinash haram oleh Allah. Maka tidak diragukan lagi bahwa ia jelas haram.
Seperti bangkai, daging babi, dan daging hewan yang disembelih tanpa menyebut
nama Allah. Ini semua telah dinash oleh Allah sebagai makanan yang haram.
c. Syubhat
Maksud
syubhat di sini ialah sesuatu yang masih dipertentangkan hukumnya berdasarkan
dalil-dalil yang ada dalam Kitab dan Sunnah, dan maknanya pun masih
diperdebatkan.
Sebagian
ulama berpendapat bahwa syubhat ialah perkara haram. Mereka berargumen
berdasarkan sabda Nabi tersebut, “......berarti dia telah menyelamatkan
agama dan kehormatannya......” Barang siapa yang tidak membersihkan agama
dan kehormatannya, ia terjerumus dalam perkara yang diharamkan.
Sebagian
ulama berpendapat bahwa perkara syubhat adalah sesuatu yang halal. Dasar mereka
adalah sabda Beliau, “......sebagaimana penggembala yang menggembalakan
hewan gembalaannya di sekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya......”
Kalimat ini menunjukan bahwa syubhat adalah sesuatu yang halal, dan
meninggalkannya adalah perbuatan wara’. Ulama lain berpendapat bahwa syubhat
bukanlah sesuatu yang halal atau sesuatu yang haram. Pasalnya, Nabi secara
jelas memposisikan perkara syubhat di antara yang halal dan yang haram. Hanya
saja, sebagai langkah kehati-hatian, seyogyanya kita menghindari barang
syubhat. Tindakan seperti ini juga bagian dari sikap wara’.
Kita
harus menjauhi sesuatu yang syubhat, karena siapa yang terjerumus dalam perkara
syubhat, maka lambat laun ia pasti akan terjerembab perkara yang haram.
Sebagaimana dikatakan, “kemaksiatan adalah kurir kekufuran” Di samping
itu, memasuki area syubhat berarti menjerumuskan diri dalam sikap ragu-ragu,
karena syubhat adalah sesuatu yang belum jelas halal atau haramnya. Dalam
sebuah hadist, Nabi telah memerintahkan kita untuk meninggalkan sikap ragu-ragu.
Beliau bersabda yang artinya:
“Tinggalkanlah
apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu” (H.R. Tirmidzi).
Rasulullah
SAW adalah suri tauladan dalam hal menjauhi barang syubhat. Beliau adalah
pemimpin orang-orang wara’. Hal ini dapat dilihat dari sikap yang diambil
Rasulullah berkenaan dengan sebutir kurma yang jatuh ketika beliau mendapatinya
di rumah beliau sendiri. Dalam menyikapi masalah ini beliau bersabda, “Kalau
saja aku tidak khawatir bahwa sebutir kurma ini berasal dari barang sedekah,
tentu sudah aku makan” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Sebagian
ulama membagi syubhat menjadi tiga macam:
1)
Sesuatu yang diketahui manusia sebagai barang haram, namun
mereka ragu apakah pengharaman itu sudah hilang (tidak berlaku) ataukah belum.
Misalnya, daging binatang yang diharamkan bagi seseorang untuk dimakan sebelum
disembelih, jika ia meragukan penyembelihannya. Maka, daging tersebut haram
hingga dapat diyakini telah disembelih. Dasar masalah ini adalah Hadist Ady bin
Hatim, disebutkan bahwa ia berkata, “Ya, Rasulullah, sesungguhnya aku melepas
anjing pemburuku dan aku ucapkan bismillah padanya. Namun, aku dapati ada
anjing lain yang melakukan pemburuan juga menyertai anjing milikku. (bagaimana
kami mengambil sikap?)” Beliau menjawab, ”Jangan kau makan (hasil
buruan tersebut), karena engkau hanya mengucapkan basmalah pada anjing buruanmu
dan tidak engkau ucapkan basmalah pada anjing yang lain!”(H.R. Bukhari dan
Muslim)
2)
Kebalikan dari yang pertama, yaitu bahwa sesuatu itu
sebenarnya halal, lalu diragukan keharamannya. Misalnya, seseorang mempunyai
istri kemudian ia ragu apakah ia telah menalak istrinya atau belum. Hal seperti
ini pada dasarnya adalah mubah (halal) sampai dapat diketahui secara pasti
mengenai keharamannya. Dasar masalah ini adalah hadist dari Imam Bukhari. Dari
‘Abbad bin Tamim dari pamannya bahwa ia mengadu kepada Rasulullah tentang
seseorang yang merasa seolah ada sesuatu yang telah keluar dari perutnya
(kentut) ketika sedang menunaikan shalat. Lalu beliau bersabda, “Janganlah
ia berpaling (menggugurkan shalatnya) sampai benar-benar mendengar suara atau
mencium baunya.”
3)
Seseorang merasa ragu perihal sesuatu apakah halal atau
haram. Kedua kemungkinan ini sama kuatnya dan tidak ada petunjuk yang
menguatkan salah satunya. Hal seperti ini sebaiknya dijauhi. Ini sebagaimana
sikap yang diambil oleh Rasulullah, Abu Bakar, dan Imam Nawawi yang telah
disampaikan di atas.
Usai
menerangkan perkara yang syubhat ini, selanjutnya Rasulullah bersabda, “Ketahuilah
bahwa setiap raja memiliki larangan.” Artinya, sudah menjadi kebiasaan
bahwa raja-raja membuat daerah larangan atau wilayah penjagaan yang berupa
taman-taman atau lading tumbuh tanaman dan rerumputannya. “Dan larangan
Allah adalah apa yang Dia haramkan.” Maksudnya, segala sesuatu yang
diharamkan oleh Allah atas hamba-Nya adalah wilayah penjagaan-Nya. Sebab, Allah
melarang mereka untuk masuk kedalamnya.
Lalu
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa di dalam jasad manusia terdapat mudghah
(seukuran daging yang bisa dikunyah orang yang memakannya). Kalau sepotong
daging itu baik, maka baik pula seluruh jasad yang lain. Sebaliknya, jika
sepotong daging itu buruk, maka buruk pula seluruh jasad yang lain. Beliau
menjelaskan hal ini dalam sabda selanjutnya, “ketahuilah ia adalah hati.”
Ini adalah petunjuk bahwa setiap kita harus benar-benar menjaga apa yang ada
dalam hati kita, yaitu hawa nafsu karena ia dapat menjatuhkan dan merusakkan
diri kita sehingga terjerumus dalam perkara haram serta perkara syubhat.
2.
Jenis-Jenis Makanan yang Diharamkan
a. Bangkai
Yaitu hewan yang mati bukan karena disembelih
atau diburu. Hukumnya jelas haram dan bahaya yang ditimbulkannya bagi agama dan
badan manusia sangat nyata, sebab pada bangkai terdapat darah yang mengendap
sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Bangkai ada beberapa macam:
1)
Al-Munkhaniqoh yaitu hewan yang mati karena
tercekik baik secara sengaja atau tidak.
2)
Al-Mauqudhah yaitu hewan yang mati karena
dipukul dengan alat/benda keras hingga mati olehnya atau disetrum dengan alat
listrik.
3)
Al-Mutaraddiyah yaitu hewan yang mati karena jatuh
dari tempat tinggi atau jatuh ke dalam sumur sehingga mati.
4)
An-Nathihah yaitu hewan yang mati karena
ditanduk oleh hewan lainnya (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim 3/22 oleh Imam
Ibnu Katsir).
Sekalipun bangkai haram hukumnya tetapi ada
yang dikecualikan yaitu bangkai ikan dan belalang berdasarkan hadits:
“Dari
Ibnu Umar berkata: “Dihalalkan untuk dua bangkai dan dua darah. Adapun dua
bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang dua darah yaitu hati dan limpa.”
(Shahih. Lihat Takhrijnya dalam Al-Furqan hal 27 edisi 4/Th.11)
Rasululah juga pernah ditanya tentang air laut,
maka beliau bersabda: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.”:
(Shahih. Lihat Takhrijnya dalam Al-Furqan 26 edisi 3/Th 11) Syaikh Muhammad
Nasiruddin Al–Albani berkata dalam Silsilah As-Shahihah (No. 480): Dalam hadits
ini terdapat faedah penting yaitu halalnya setiap bangkai hewan laut sekalipun
terapung di atas air (laut). Beliau menjawab: “Sesungguhnya yang terapung
itu termasuk bangkainya” Rasulullah juga bersabda: “Laut itu suci airnya
dan halal bangkainya” (HR. Daraqutni: 538).
b. Darah
Yaitu darah yang mengalir sebagaimana
dijelaskan dalam ayat lainnya: “Atau darah yang mengalir” (QS.
Al-An’Am: 145). Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Sa’id bin Jubair.
Diceritakan bahwa orang-orang jahiliyyah dahulu apabila seorang diantara mereka
merasa lapar, maka dia mengambil sebilah alat tajam yang terbuat dari tulang
atau sejenisnya, lalu digunakan untuk memotong unta atau hewan yang kemudian
darah yang keluar dikumpulkan dan dibuat makanan/minuman. Oleh karena itulah,
Allah mengharamkan darah pada umat ini. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/23-24).
Sekalipun darah adalah haram, tetapi ada pengecualian
yaitu hati dan limpa berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas tadi. Demikian pula
sisa-sisa darah yang menempel pada daging atau leher setelah disembelih,
semuanya itu hukumnya halal.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan:
“Pendapat yang benar, bahwa darah yang diharamkan oleh Allah adalah darah yang
mengalir. Adapun sisa darah yang menempel pada daging, maka tidak ada satupun
dari kalangan ulama’ yang mengharamkannya”. (Dinukil dari Al-Mulakhas Al-Fiqhi
2/461 oleh Syaikh Dr. Shahih Al-Fauzan).
c. Daging
Babi
Babi baik peliharaan maupun liar, jantan maupun
betina. Dan mencakup seluruh anggota tubuh babi sekalipun minyaknya. Tentang
keharamannya, telah ditandaskan dalam al-Qur’an, hadits dan ijma’ ulama.
d. Sembelihan
untuk Selain Allah
Yakni setiap hewan yang disembelih dengan
selain nama Allah hukumnya haram, karena Allah mewajibkan agar setiap
makhluk-Nya disembelih dengan nama-Nya yang mulia. Oleh karenanya, apabila
seorang tidak mengindahkan hal itu bahkan menyebut nama selain Allah baik
patung, taghut, berhala dan lain sebagainya , maka hukum sembelihan tersebut
adalah haram dengan kesepakatan ulama.
e. Hewan
yang Diterkam Binatang Buas
Yakni hewan yang diterkam oleh harimau,
serigala atau anjing lalu dimakan sebagiannya kemudia mati karenanya, maka hukumnya
adalah haram sekalipun darahnya mengalir dan bagian lehernya yang kena. Semua
itu hukumnya haram dengan kesepakatan ulama. Orang-orang jahiliyah dulu biasa
memakan hewan yang diterkam oleh binatang buas baik kambing, unta, sapi dsb,
maka Allah mengharamkan hal itu bagi kaum mukminin.
f. Binatang
Buas Bertaring
Hal ini berdasarkan hadits: “Dari Abu
Hurairah dari Nabi saw bersabda: “Setiap binatang buas yang bertaring adalah
haram dimakan” (HR. Muslim No. 1933)
Perlu diketahui bahwa hadits ini mutawatir
sebagaimana ditegaskan Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (1/125) dan Ibnu
Qoyyim Al-Jauziyah dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/118-119) Maksudnya “dziinaab”
yakni binatang yang memiliki taring atau kuku tajam untuk melawan manusia
seperti serigala, singa,anjing, macan tutul, harimau,beruang,kera dan
sejenisnya. Semua itu haram dimakan”. (Lihat Syarh Sunnah (11/234) oleh Imam
Al-Baghawi).
Hadits ini secara jelas menunjukkan haramnya
memakan binatang buas yang bertaring bukan hanya makruh saja. Pendapat yang menyatakan
makruh saja adalah pendapat yang salah. (lihat At-Tamhid (1/111) oleh Ibnu
Abdil Barr, I’lamul Muwaqqi’in (4-356) oleh Ibnu Qayyim dan As-Shahihah No. 476
oleh Al-Albani.
Imam Ibnu Abdil Barr juga mengatakan dalam
At-Tamhid (1/127): “Saya tidak mengetahui persilanganpendapat di kalangan ulama
kaum muslimin bahwa kera tidak boleh dimakan dan tidak boleh dijual karena
tidak ada manfaatnya. Dan kami tidak mengetahui seorang ulama’pun yang
membolehkan untuk memakannya. Demikianpula anjing,gajah dan seluruh binatang
buas yang bertaring. Semuanya sama saja bagiku (keharamannya). Dan hujjah
adalah sabda Nabi saw bukan pendapat orang….”.
Para ulama berselisih pendapat tentang musang.
Apakah termasuk binatang buas yang haram ataukah tidak ? Pendapat yang rajih
bahwa musang adalah halal sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan Syafi’i
berdasarkan hadits :
“Dari Ibnu Abi Ammar berkata: Aku pernah
bertanya kepada Jabir tentang musang, apakah ia termasuk hewan buruan?
Jawabnya: “Ya”. Lalu aku bertanya: apakah boleh dimakan? Beliau menjawab: Ya.
Aku bertanya lagi: Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah? Jawabnya: Ya.
(Shahih. HR. Abu Daud (3801), Tirmidzi (851), Nasa’i (5/191) dan dishahihkan
Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al- Baihaqi, Ibnu
Qoyyim serta Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Habir (1/1507).
Lantas apakah hadits Jabir ini bertentangan dengan
hadits larangan di atas? Imam Ibnu
Qoyyim menjelaskan dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/120) bahwa tidak ada kontradiksi
antara dua hadits di atas. Sebab musang tidaklah termasuk kategori binatang
buas, baik ditinjau dari segi bahasa maupun segi urf (kebiasaan) manusia.
Penjelasan ini disetujui oleh Al-Allamah Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi
(5/411) dan Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani dalam At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah
(3-28).
g. Burung
yang Berkuku Tajam
Hal ini berdasarkan hadits: Dari Ibnu Abbas
berkata: “Rasulullah melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan
berkuku tajam” (HR Muslim No. 1934)
Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (11/234):
“Demikian juga setiap burung yang berkuku tajam seperti burung garuda, elang
dan sejenisnya”. Imam Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim 13/72-73: Dalam
hadits ini terdapat dalil bagi madzab Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan
mayoritas ulama tentang haramnya memakan binatang buas yang bertaring dan
burung yang berkuku tajam.
h. Khimar
Ahliyyah (Keledai Jinak)
Hal ini berdasarkan hadits yang artinya:
“Dari
Jabir berkata: “Rasulullah melarang pada perang khaibar dari (makan) daging
khimar dan memperbolehkan daging kuda”. (HR
Bukhori No. 4219 dan Muslim No. 1941). dalam riwayat lain disebutkan: Pada
perang Khaibar, mereka menyembelih kuda, bighal dan khimar. Lalu Rasulullah
melarang dari bighal dan khimar dan tidak melarang dari kuda. (Shahih. HR Abu
Daud (3789), Nasa’i (7/201), Ahmad (3/356), Ibnu Hibban (5272), Baihaqi
(9/327), Daraqutni (4/288-289) dan Al-Baghawi dalam Syarhu Sunnah No. 2811).
i.
Al-Jallalah
Hal ini berdasarkan hadits:
“Dari
Ibnu Umar berkata: Rasulullah melarang dari jalalah unta untuk dinaiki” (HR.
Abu Daud No. 2558 dengan sanad shahih).
“Dalam riwayat lain disebutkan: Rasulullah
melarang dari memakan jallalah dan susunya.” (HR. Abu Daud : 3785, Tirmidzi:
1823 dan Ibnu Majah: 3189).
“Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya
berkata: Rasulullah melarang dari keledai jinak dan jalalah, menaiki dan
memakan dagingnya” (HR Ahmad (2/219) dan dihasankan Al-Hafidz
dalam Fathul Bari 9/648).
Maksud Al-Jalalah yaitu setiap hewan baik hewan
berkaki empat maupun berkaki dua-yang makanan pokoknya adalah kotoran-kotoran
seperti kotoran manuasia/hewan dan sejenisnya. (Fahul Bari 9/648). Ibnu Abi
Syaiban dalam Al-Mushannaf (5/147/24598) meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa
beliau mengurung ayam yang makan kotoran selama tiga hari. (Sanadnya shahih
sebagaimana dikatakan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648).
Hukum jalalah haram dimakan sebagaimana
pendapat mayoritas Syafi’iyyah dan Hanabilah. Pendapat ini juga ditegaskan oleh
Ibnu Daqiq Al-’Ied dari para fuqaha’ serta dishahihkan oleh Abu Ishaq
Al-Marwazi, Al-Qoffal, Al-Juwaini, Al-Baghawi dan Al-Ghozali. (Lihat Fathul
Bari (9/648) oleh Ibnu Hajar).
Sebab diharamkannya jalalah adalah perubahan
bau dan rasa daging dan susunya. Apabila pengaruh kotoran pada daging hewan
yang membuat keharamannya itu hilang, maka tidak lagi haram hukumnya, bahkan
hukumnya hahal secara yakin dan tidak ada batas waktu tertentu. Al-Hafidz Ibnu
Hajar menjelaskan (9/648): “Ukuran waktu boelhnya memakan hewan jalalah yaitu
apabila bau kotoran pada hewan tersebut hilang dengan diganti oleh sesuatu yang
suci menurut pendapat yang benar.”. Pendapat ini dikuatkan oleh imam Syaukani
dalam Nailul Authar (7/464) dan Al-Albani dan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah (3/32).
j.
Ad-Dhab (Hewan Sejenis Biawak) Bagi yang Merasa
Jijik Darinya
Berdasarkan hadits: “Dari Abdur Rahman bin
Syibl berkata: Rasulullah melarang dari makan dhab (hewan sejenis biawak).
(Hasan. HR Abu Daud (3796), Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa Tarikh (2/318),
Baihaqi (9/326) dan dihasankan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/665)
serta disetujui oleh Al-Albani dalam As-Shahihah No. 2390).
Benar terdapat beberapa hadits yang banyak
sekali dalam Bukhari Muslim dan selainnya yang menjelaskan bolehnya makan dhob
baik secara tegas berupa sabda Nabi maupun taqrir (persetujuan Nabi).
Diantaranya , Hadits Abdullah bin Umar secara marfu’ (sampai pada nabi) “Dhab,
saya tidak memakannya dan saya juga tidak mengharamkannya.” (HR Bukhari No.5536
dan Muslim No. 1943)
k. Hewan
yang Diperintahkan Agama Supaya Dibunuh
“Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: Lima
hewan fasik yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu
ular, tikus, anjing hitam.” (HR. Muslim No. 1198 dan Bukhari No. 1829
dengan lafadz “kalajengking: gantinya “ular” )
Imam ibnu Hazm mengatakan dalam Al-Muhalla
(6/73-74): “Setiap binatang yang diperintahkan oleh Rasulullah supaya dibunuh
maka tidak ada sembelihan baginya, karena Rasulullah melarang dari
menyia-nyiakan harta dan tidak halal membunuh binatang yang dimakan” (Lihat
pula Al-Mughni (13/323) oleh Ibnu Qudamah dan Al-Majmu’ Syarh Muhadzab (9/23)
oleh Nawawi).
“Dari Ummu Syarik berkata bahwa Nabi
memerintahkan supaya membunuh tokek/cecak” (HR. Bukhari no. 3359 dan Muslim
2237). Imam Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid (6/129)” Tokek/cecak telah
disepakati keharaman memakannya.
l.
Hewan yang Dilarang untuk Dibunuh
“Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah melarang
membunuh 4 hewan: semut, tawon, burung hud-hud dan burung surad.” (HR
Ahmad (1/332,347), Abu Daud (5267), Ibnu Majah (3224), Ibnu Hibban (7/463) dan
dishahihkan Baihaqi dan Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 4/916). Imam Syafi’i dan
para sahabatnya mengatakan: “Setiap hewan yang dilarang dibunuh berarti tidak
boleh dimakan, karena seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan dilarang
membunuhnya.” (Lihat Al-Majmu’ (9/23) oleh Nawawi).
Haramnya hewan-hewan di atas merupakan pendapat
mayoritas ahli ilmu sekalipun ada perselisihan di dalamnya kecuali semut,
nampaknya disepakati keharamannya. (Lihat Subul Salam 4/156, Nailul Authar
8/465-468, Faaidhul Qadir 6/414 oleh Al-Munawi). “Dari Abdur Rahman bin Utsman
Al-Qurasyi bahwasanya seorang tabib pernah bertanya kepada Rasulullah tentang
kodok/katak dijadikan obat, lalu Rasulullah melarang membunuhnya. (HR Ahmad
(3/453), Abu Daud (5269), Nasa’i (4355), Al-Hakim (4/410-411), Baihaqi
(9/258,318) dan dishahihkan Ibnu Hajar dan Al-Albani).
Haramnya katak secara mutlak merupakan pendapat
Imam Ahmad dan beberapa ulama lainnya serta pendapat yang shahih dari madzab
Syafe’i. Al-Abdari menukil dari Abu Bakar As-Shidiq, Umar, Utsman dan Ibnu
Abbas bahwa seluruh bangkai laut hukumnya halal kecuali katak (lihat pula
Al-Majmu’ (9/35) , Al-Mughni (13/345), Adhwaul Bayan (1/59) oleh Syaikh
As-Syanqithi, Aunul Ma’bud (14/121) oleh Adzim Abadi dan Taudhihul Ahkam (6/26)
oleh Al-Bassam)
m. Binatang
yang Hidup di Dua Alam
Sejauh ini belum ada dalil dari Al-Qur’an dan
hadits yang shahih yang menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di dua
alam (laut dan darat). Dengan demikian binatang yang hidup di dua alam dasar
hukumnya “asal hukumnya adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Berikut contoh beberapa dalil hewan hidup di
dua alam :
1)
Kepiting hukumnya halal sebagaimana pendapat
atha’ dan imam ahmad. (Lihat Al-Mughni 13/344 oleh Ibnu Qudamah dan Al-Muhalla
6/84 oleh Ibnu Hazm).
2)
Kura-kura dan penyu juga halal sebagaimana
madzab Abu Hurairah, Thawus, Muhammad bin Ali, Atha’, Hasan Al-Bashri dan
fuqaha’ Madinah. (Lihat Al-Mushannaf (5/146) Ibnu Abi Syaibah dan Al-Muhalla
(6/84).\
3)
Anjing laut juga halal sebagaimana pendapat imam
Malik, Syafe’i, Laits, Syai’bi dan Al-Auza’i (Lihat Al-Mughni 13/346).
4)
Katak/kodok hukumnya haram secara mutlak
menurut pendapat yang rajih karena termasuk hewan yang dilarang dibunuh
sebagaimana penjelasan di atas.
B.
Hadits Amar Ma’ruf dan Nahyi Munkar
عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَنْ
رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ
اْلإِيْمَانِ (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Abu Sa’id Al
Khudri radiallahuanhu berkata: “Saya mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan
tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu
maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman”. (Riwayat Muslim)
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ
يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُم
(رواه الترمذى وأحمد)
Artinya: Dari Huzhaifah bin Al-Yaman dari Nabi SAW bersabda:” Demi dzat
yang jiwaku ditangan-Nya hendaknya engkau melakukan amar ma’ruf dan nahi
munkar, atau jika tidak Allah hampir mengirim azabnya, kemudian engkau berdo’a
tetapi tidak dikabulkan”(HR At-Tirmidzi dan
Ahmad).
Hadits ini adalah
hadits yang jami’ (mencakup banyak persoalan) dan sangat penting dalam syari’at
Islam, bahkan sebagian ulama mengatakan, “Hadits ini
pantas untuk menjadi separuh dari agama (syari’at), karena amalan-amalan
syari’at terbagi dua: ma’ruf (kebaikan) yang wajib diperintahkan dan
dilaksanakan, atau mungkar (kemungkaran) yang wajib diingkari, maka dari sisi
ini, hadits tersebut adalah separuh dari syari’at.” (Lihat At Ta’yin fi Syarhil Arba’in, At Thufi, hal. 292)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata, “Sesungguhnya maksud dari hadits ini adalah:
Tidak tinggal sesudah batas pengingkaran ini (dengan hati) sesuatu yang
dikategorikan sebagai iman sampai seseorang mukmin itu melakukannya, akan
tetapi mengingkari dengan hati merupakan batas terakhir dari keimanan, bukanlah
maksudnya, bahwa barang siapa yang tidak mengingkari hal itu dia tidak memiliki
keimanan sama sekali, oleh karena itu Rasulullah bersabda, “Tidaklah ada sesudah
itu”, maka beliau menjadikan orang-orang yang beriman tiga tingkatan,
masing-masing di antara mereka telah melakukan keimanan yang wajib atasnya,
akan tetapi yang pertama (mengingkari dengan tangan) tatkala ia yang lebih
mampu di antara mereka maka yang wajib atasnya lebih sempurna dari apa yang
wajib atas yang kedua (mengingkari dengan lisan), dan apa yang wajib atas yang
kedua lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang terakhir, maka dengan
demikian diketahui bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam keimanan yang wajib
atas mereka sesuai dengan kemampuannya beserta sampainya khitab (perintah)
kepada mereka.” (Majmu’ Fatawa,
7/427)
Hadits dan perkataan
Syaikhul Islam di atas menjelaskan bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan
karakter seorang yang beriman, dan dalam mengingkari kemungkaran tersebut ada
tiga tingkatan:
1. Mengingkari dengan tangan
2. Mengingkari dengan lisan
3. Mengingkari dengan hati
Tingkatan pertama dan
kedua wajib bagi setiap orang yang mampu melakukannya, sebagaimana yang
dijelaskan oleh hadits di atas, dalam hal ini seseorang apabila melihat suatu
kemungkaran maka ia wajib mengubahnya dengan tangan jika ia mampu melakukannya,
seperti seorang penguasa terhadap bawahannya, kepala keluarga terhadap istri,
anak dan keluarganya, dan mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan
senjata.
Dalam riwayat lain
beliau berkata, “Merubah (mengingkari) dengan tangan bukanlah
dengan pedang dan senjata.”(Lihat, Al Adabusy Syar’iyah,
Ibnu Muflih, 1/185)
Adapun dengan lisan
seperti memberikan nasihat yang merupakan hak di antara sesama muslim dan
sebagai realisasi dari amar ma’ruf dan nahi mungkar itu sendiri, dengan
menggunakan tulisan yang mengajak kepada kebenaran dan membantah syubuhat
(kerancuan) dan segala bentuk kebatilan.
Adapun tingkatan
terakhir (mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci kemungkaran-
kemungkaran tersebut, ini adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap
individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barang siapa yang
tidak mengingkari dengan hatinya maka ia akan binasa.
Imam Ibnu Rajab berkata
setelah menyebutkan hadits di atas dan hadits-hadits yang senada dengannya,“Seluruh hadits ini menjelaskan wajibnya mengingkari kemungkaran
sesuai dengan kemampuan, dan sesungguhnya mengingkari dengan hati sesuatu yang
harus dilakukan, barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya, maka ini
pertanda hilangnya keimanan dari hatinya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, 2/258)
قال رجل لعبد الله بن مسعود -رضي الله
عنه : هلك من لم يأمر بالمعروف ولم ينه عن المنكر. فقال عبد الله: بل هلك من لم
يعرف المعروف بقلبه وينكر المنكر بقلبه
Salah
seorang berkata kepada Ibnu Mas’ud, “Binasalah orang yang tidak menyeru kepada
kebaikan dan tidak mencegah dari kemungkaran”, lalu Ibnu Mas’ud berkata,
“Justru binasalah orang yang tidak mengetahui dengan hatinya kebaikan dan tidak
mengingkari dengan hatinya kemungkaran.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf
beliau no. 37581)
Imam Ibnu Rajab
mengomentari perkataan Ibnu Mas’ud di atas dan berkata, “Maksud beliau adalah bahwa mengetahui yang ma’ruf dan mungkar
dengan hati adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap orang, maka barang
siapa yang tidak mengetahuinya maka dia akan binasa, adapun mengingkari dengan
lisan dan tangan ini sesuai dengan kekuatan dan kemampuan.” (Jami’ul Ulum wal Hikam 2/258-259)
Seseorang yang tidak
mengingkari dengan hatinya maka ia adalah orang yang mati dalam keadaan hidup,
sebagaimana perkataan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu tatkala
ditanya, “Apakah kematian orang yang hidup?” Beliau
menjawab:
من لم يعرف المعروف بقلبه وينكر المنكر بقلبه
“Orang yang tidak
mengenal kebaikan dengan hatinya dan tidak mengingkari kemungkaran dengan
hatinya.” (Riwayat Ibnu Abi
Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37577)
1. Pengertian Amar Ma’ruf dan Nahyi Munkar
Ma’ruf adalah kata benda yang mencakup segala sesuatu
yang dicintai dan disukai Allah baik perkataan maupun perbuatan lahir dan
batin. Maka ma’ruf mencakup aspek keyakinan, ibadah, sistem ajaran maupun
akhlak. Disebut ma’ruf karena fitrah yang masih lurus dan akal yang sehat
membenarkan dan menguatkan akan kebaikannya. Maka amar ma’ruf adalah da’wah
untuk mengerjakan dan mewujudkannya beserta memberikan daya tarik dan
menyiapkan jalan ke arah pelaksanannya dengan mengokohkan tiang-tiangnya
sehingga menjadikan ma’ruf tersebut ciri khas yang melekat dalam kehidupannya.
Sedangkan mungkar adalah kata benda dari segala yang
dibenci dan tidak disukai Allah baik perkataan maupun perbuatan. Disebut
mungkar karena fitrah yang masih lurus dan akal sehat mengingkarinya dan
menyatakan keburukan, bahaya dan kerusakannya. Maka nahi mungkar adalah
larangan untuk melaksanakan dan mewujudkan kemungkaran tersebut disertai upaya
menghalangi dan menjauhkannya serta memutuskan jalan darinya sehingga terputus
dari akar kehidupan yang dilaluinya.
2. Hukum Amar Ma’ruf dan Nahyi Munkar
Hukum amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah wajib sesuai
alasan-alasan berikut:
a. Perintah yang disebutkan dalam Al Qur’an
dan Hadits baik perintah tersebut disebutkan secara tegas dan jelas maupun
disebutkan secara substansi dan urgensinya: Allah Swt berfirman yang artinya“Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung” (QS Ali Imraan 104).
Sabda rasul yang artinya: Dari Abu Said Al-Khudri ra berkata: Saya
mendengar Rasulullah saw bersabda:” Siapa diantara kalian yang melihat
kemungkaran maka hendaklah merubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu dengan
lisannya dan jika tidak mampu dengan hatinya. Dan yang demikian itu selemah-lemahnya
iman” (HR Muslim). Allah Swt berfirman yang artinya “Sesungguhnya
manusia jika melihat kemungkaran dan tidak merubahnya, maka Allah akan
meratakan kepada mereka adzab-Nya”(HR Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ahmad)
b. Karena Muhammad saw adalah nabi dan rasul
terakhir dan begitu juga risalahnya maka umat Islam diperintahkan untuk
menyampaikan risalah tersebut kepada generasi berikutnya.
c. Berangkat dari konsep saling tolong
menolong dan menjaga satu sama lain maka dalam konteks ini amar ma’ruf dan nahi
mungkar wajib dilaksanakan sebagai upaya saling tolong menolong. Rasulullah saw
bersabda: Rasulullah Saw bersanda yang artinya: “Tolonglah saudaramu baik
dalam keadaan menzhalimi atau terzhalimi”. Dikatakan: “Bagaimana menolongnya
saat ini menzhalimi”. Rasulullah saw menjawab: “Dengan cara melarangnya dari
berbuat zhalim, itu termasuk menolongnya”(Muttafaqun ‘alaihi).
3. Keutamaan Melaksanakannya
a. Selamat dari adzab Allah dan memperoleh
ridha dan surga-Nya
b. Penjagaan bumi agar tidak berubah menjadi
sarang kejahatan.
c. Sebagai alasan bagi orang-orang yang
menentang bahwa keterangan telah sampai kepada mereka.
d. Untuk menyadarkan orang-orang yang lalai
dan cambuk bagi orang yang terlena.
e. Bukti Ukhuwah Islamiyah dan ta’awun sesama
muslim.
4. Bahaya Meninggalkannya
a. Mendapatkan murka Allah di dunia dan di
akhirat.
b. Memberi peluang bagi orang-orang malas
beralasan dengan mengatakan bahwa mereka belum ada yang mengingatkan dan
menyuruh berbuat baik.
c. Menghilangkan kesemapatan bagi sebagian
besar manusia untuk berbuat baik dan komitmen dengan Islam. Karena pada
dasarnya manusia akan sadar jika selalu diingkatkan untuk berbuat baik dan
meninggalkan keburukan sesuai dengan fitrah mereka. Sehingga jika tidak ada
orang yang melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, akan menjadi sebab
penghalang manusia untuk mendapat petunjuk dan hilangnya kesempatan mereka
untuk berbuat baik.
d. Hilangnya rasa aman pada manusia baik
dirinya, anggota keluarganya mapun harta mereka.
5. Adab-Adab Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar
Agar amar ma’ruf dan nahi mungkar dapat berjalan dengan baik dan memperoleh
hasil yang efektif maka fihak yang akan melaksanakan amar maruf dan nahi
mungkar harus memperhatikan adab-adabnya:
a. Menguasai berbagai disiplin ilmu Islam,
yaitu seorang yang akan melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar harus mengetahui
ilmu-ilmu yang terkait dengannya seperti ilmu tentang ruang lingkup ma’ruf dan
mungkar, realita masyarakat dan dampaknya jika dilakukan. Ia juga harus
mengetahui tentang kondisi sosiologis manusia yang menjadi obyeknya.
b. Bertakwa kepada Allah dan berakhlak mulia,
sehingga jangan sampai ia menyuruh sesuatu yang ia tidak kerjakan atau
sebaliknya melarang sesuatu yang justru masih ia kerjakan. Allah swt berfirman
yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa
yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.
c. Dilakukan dengan lembut dan bijaksana
sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur’an yang artinya:"Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”(An-Nahl 125).
d. Sabar dan tahan uji, karena memang amar
ma’ruf dan nahi mungkar membutuhkan kesabaran dan tahan uji jika tidak maka
mungkin akan berhenti melakukannya.
e. Ikhlas, yaitu dalam melaksanakan amar
ma’ruf dan nahi mungkar harus dilandasi niat yang ikhlas bukan untuk mencari
popularitas atau untuk menjatuhkan obyeknya.
f. Dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar
jangan sampai menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.
g. Obyek yang menjadi amar ma’ruf dan nahi
mungkar adalah sesuatu yang telah disepakati ma’rufnya atau mungkarnya.
BAB III
KESIMPULAN
Sesuatu yang halal haram dan syubhat sudah
dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Secara garis besar rinciaanya adalah:
1. Halal.
Sesuatu
yang dinash halal oleh Allah. Tak diragukan lagi bahwa ia adalah halal. Seperti
daging hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allah, kurma, anggur, dan
lain-lain. Banyak disebutkan dalam hadist bahwa makanan-makanan tersebut halal
untuk dimakan. Kita harus berhati-hati dalam memilih dan memilah produk yang
halal. Terlebih dalam hal makanan, minuman, dan pakaian. Sebab, di antara
faktor terkabulknya doa adalah makanan atau minuman yang masuk ke dalam perut
kita harus halal. Begitu pun pakaian yang kita kenakan, harus berasal dari
sumber dan jenis yang halal.
2. Haram
Sesuatu
yang dinash haram oleh Allah. Maka tidak diragukan lagi bahwa ia jelas haram.
Seperti bangkai, daging babi, dan daging hewan yang disembelih tanpa menyebut
nama Allah. Ini semua telah dinash oleh Allah sebagai makanan yang haram.
3. Syubhat
Maksud
syubhat di sini ialah sesuatu yang masih dipertentangkan hukumnya berdasarkan
dalil-dalil yang ada dalam Kitab dan Sunnah, dan maknanya pun masih
diperdebatkan.
Rasul menjelaskan bahwa
amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan karakter seorang yang beriman, dan dalam
mengingkari kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
1. Mengingkari dengan tangan
2. Mengingkari dengan lisan
3. Mengingkari dengan hati
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Almath,
Muhammad Faiz, dkk. 1991. 1100 Hadits Terpilih: Sinar Ajaran Muhammad. Jakarta:
Gema Insani Press.
Fahmi, Abu.
1990. Terjemah: Etika Beramal Ma’ruf dan Nahyi Munkar. Jakarta: Gema
Insani Press.
Muhaemin.
2008. Al-Qur’an Hadits. Bandung: Grafindo Media Pratama
Sunarto,
Ahmad. 2000. Himpunan Hadits Shahih Bukhari. Jakarta: Setia Kawan.
www.google.com
assalamu'alaikum,,
ReplyDeletemaaf sebelumnya ,, izin copas yaa,,