Friday, April 20, 2012

Makalah Pendidikan Dalam Keluarga_Hubungan Antar Keluarga


BAB I

PENDAHULUAN

 

 

A.      LATAR BELAKANG

Manusia adalah sebagai makhluk individu dalam arti tidak dapat di pisahkan antara jiwa dan raganya, oleh karena itu dalam proses perkembangannya perlu keterpaduan antara perkembangan jasmani maupun rohaninya.
Sebagai makhluk sosial seorang individu tidak dapat berdiri sendiri, saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya, dan saling mengadakan hubungan sosial di tengah–tengah masyarakat. Keluarga dengan berbagai fungsi yang dijalankan adalah sebagai wahana dimana seorang individu mengalami proses sosialisasi yang pertama kali, sangat penting artinya dalam mengarahkan terbentuknya individu menjadi seorang yang berpribadi.
Sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan masyarakat, keluarga mempunyai korelasi fungsional dengan masyarakat tertentu, oleh karena itu dalam proses pengembangan individu menjadi seorang yang berpribadi hendaknya diarahkan sesuai dengan struktur masyarakat yang ada, sehingga seorang individu  menjadi seorang yang dewasa dalam arti mampu mengendalikan diri dan melakukan hubungan – hubungan sosial di dalam masyarakat yang cukup majemuk.
Masyarakat adalah kelompok manusia yang saling berinteraksi yang memiliki prasarana untuk kegiatan tersebut dan adanya saling keterikatan untuk mencapai tujuan bersama. Masyarakat adalah tempat kita bisa melihat dengan jelas proyeksi individu sebagai bagian keluarga, keluarga sebagai tempat terprosesnya, dan masyarakat adalah tempat kita melihat hasil dari proyeksi tersebut.
Individu yang berada dalam masyarakat tertentu berarti ia berada pada suatu konteks budaya tertentu. Pada tahap inilah arti keunikan individu itu menjadi jelas dan bermakna, artinya akan dengan mudah dirumuskan gejala – gejalanya. Karena di sini akan terlibat individu sebagai perwujudan dirinya sendiri dan merupakan makhluk sosial sebagai perwujudan anggota kelompok  atau anggota masyarakat.


B.       RUMUSAN MASALAH

Secara umum rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah berkaitan dengan Hubungan Antara Keluarga yang merupakan bagian dari Mata Kuliah Pendidikan Dalam Keluarga (PDK). Supaya lebih mempermudah pembahasannya, rumusan masalah ini diuraikan dalam bentuk pertanyaan, yaitu sebagai berikut :

1.      Apa pengertian keluarga itu ?

2.      Bagaimana hubungan yang dibina antara anggota keluarga ?

 

C.      TUJUAN

Secara khusus makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Dalam Keluarga (PDK). Tetapi secara umum sama dengan adanya rumusan masalah yang telah dipaparkan, dengan membaca makalah ini kita dapat mengetahui :

1.      Pengertian keluarga.

2.      Hubungan yang dibina antara anggota keluarga.

 

D.      MANFAAT

Manfaat dari makalah ini adalah supaya kita tahu apa yang dinamakan dengan keluarga itu, karena bukan tidak mungkin kita semuanya pasti akan merasakan bagaimana rasanya membina rumah tangga, dan keluarga dengan berbagai fungsi yang dijalankan adalah sebagai wahana dimana seorang individu mengalami proses sosialisasi yang pertama kali, sangat penting artinya dalam mengarahkan terbentuknya individu menjadi seorang yang berpribadi. Jadi makalah ini membantu menambah wawasan kita tentang keluarga terutama yang paling inti yaitu Hubungan Antara Keluarga. Dan mudah-mudahan makalah yang amat sederhana ini bisa menjadi bahan diskusi untuk kita semuanya.

 

 


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.      PENGERTIAN KELUARGA

Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta "kulawarga". Kata kula berarti "ras" dan warga yang berarti "anggota". Keluarga adalah lingkungan di mana terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah. Keluarga sebagai kelompok sosial terdiri dari sejumlah individu, memiliki hubungan antar individu, terdapat ikatan, kewajiban, tanggung jawab di antara individu tersebut. Jadi keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Menurut Salvicion dan Celis (1998) di dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.
Ada beberapa tipe keluarga yakni keluarga inti yang terdiri dari suami, istri, dan anak atau anak-anak, keluarga konjugal yang terdiri dari pasangan dewasa (ibu dan ayah) dan anak-anak mereka, dimana terdapat interaksi dengan kerabat dari salah satu atau dua pihak orang tua. Selain itu terdapat juga keluarga luas yang ditarik atas dasar garis keturunan di atas keluarga aslinya. Keluarga luas ini meliputi hubungan antara paman, bibi, keluarga kakek, dan keluarga nenek.
Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku antar pribadi, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan pribadi dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan pribadi dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.
Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah sebagai berikut :
-        Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.
-        Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.
-        Anak-anak melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.
Pada dasarnya tugas keluarga ada delapan tugas pokok sebagai berikut :
1.    Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya.
2.    Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga.
3.    Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai dengan kedudukannya masing-masing.
4.    Sosialisasi antar anggota keluarga.
5.    Pengaturan jumlah anggota keluarga.
6.    Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga.
7.    Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas.
8.    Membangkitkan dorongan dan semangat para anggotanya.
Kemudian ada beberapa fungsi yang dijalankan oleh keluarga, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.    Fungsi Pendidikan dilihat dari bagaimana keluarga mendidik dan menyekolahkan anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak.
2.    Fungsi Sosialisasi anak dilihat dari bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik.
3.    Fungsi Perlindungan dilihat dari bagaimana keluarga melindungi anak sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman.
4.    Fungsi Perasaan dilihat dari bagaimana keluarga secara instuitif merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota yang lain dalam berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama anggota keluarga. Sehingga saling pengertian satu sama lain dalam menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga.
5.    Fungsi Agama dilihat dari bagaimana keluarga memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga lain melalui kepala keluarga menanamkan keyakinan yang mengatur kehidupan kini dan kehidupan lain setelah dunia.
6.    Fungsi Ekonomi dilihat dari bagaimana kepala keluarga mencari penghasilan, mengatur penghasilan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi rkebutuhan-kebutuhan keluarga.
7.    Fungsi Rekreatif dilihat dari bagaimana menciptakan suasana yang menyenangkan dalam keluarga, seperti acara nonton TV bersama, bercerita tentang pengalaman masing-masing, dan lainnya.
8.    Fungsi Biologis dilihat dari bagaimana keluarga meneruskan keturunan sebagai generasi selanjutnya.
9.    Memberikan kasih sayang, perhatian,dan rasa aman diaantara keluarga, serta membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga.
Ada dua macam bentuk keluarga dilihat dari bagaimana keputusan diambil, yaitu berdasarkan lokasi dan berdasarkan pola otoritas.

1.        Berdasarkan lokasi

-         Adat utrolokal, yaitu adat yang memberi kebebasan kepada sepasang suami istri untuk memilih tempat tinggal, baik itu di sekitar kediaman kaum kerabat suami ataupun di sekitar kediamanan kaum kerabat istri;
-         Adat virilokal, yaitu adat yang menentukan bahwa sepasang suami istri diharuskan menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami;
-         Adat uxurilokal, yaitu adat yang menentukan bahwa sepasang suami istri harus tinggal di sekitar kediaman kaum kerabat istri;
-         Adat bilokal, yaitu adat yang menentukan bahwa sepasang suami istri dapat tinggal di sekitar pusat kediaman kerabat suami pada masa tertentu, dan di sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri pada masa tertentu pula (bergantian);
-         Adat neolokal, yaitu adat yang menentukan bahwa sepasang suami istri dapat menempati tempat yang baru, dalam arti kata tidak berkelompok bersama kaum kerabat suami maupun istri;
-         Adat avunkulokal, yaitu adat yang mengharuskan sepasang suami istri untuk menetap di sekitar tempat kediaman saudara laki-laki ibu (avunculus) dari pihak suami;
-         Adat natalokal, yaitu adat yang menentukan bahwa suami dan istri masing-masing hidup terpisah, dan masing-masing dari mereka juga tinggal di sekitar pusat kaum kerabatnya sendiri .

2.        Berdasarkan pola otoritas

-         Patriarkal, yakni otoritas di dalam keluarga dimiliki oleh laki-laki (laki-laki tertua, umumnya ayah).
-         Matriarkal, yakni otoritas di dalam keluarga dimiliki oleh perempuan (perempuan tertua, umumnya ibu).
-         Equalitarian, yakni suami dan istri berbagi otoritas secara seimbang.

 

B.       HUBUNGAN ANTARA KELUARGA

1.        Hubungan Suami Istri

Dalam perkembangan sejarah, hubungan antar suami-istri pada kelas menengah berubah dari hubungan yang ada pada keluarga yang institusional ke hubungan yang ada pada keluarga yang  companionship (Burges dan Locke, 1960). Hubungan antar suami-istri pada keluarga yang institusional ditentukan oleh faktor-faktor di luar keluarga seperti adat, pendapat umum dan hukum. Baru kemudian dalam perkembangan selanjutnya, pengaruh faktor-faktor tersebut mulai berkurang. Hubungan antar suami-istri lebih didasarkan atas pengertian dan kasih sayang timbal balik serta kesepakatan mereka berdua.

Duvall (1967) menyebut pola hubungan suami-istri dalam keluarga yang institusional sebagai pola yang otoriter, sedangkan pola hubungan suami-istri dalam keluarga yang  companionship sebagai pola yang demokratis. Perubahan tersebut terjadi karena adanya perubahan sosial dalam masyarakat dan keluarga menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Dengan begitu keluarga bisa tetap bertahan. Pola hubungan yang otoriter menunjukkan pola hubungan yang kaku. Sebaliknya, dalam pola yang demokratis hubungan suami-istri menjadi lebih lentur. Pada pola yang kaku, seorang istri yang baik adalah istri yang melayani suami dan anak-anaknya. Sedangkan pada pola yang lentur, istri yang baik adalah pribadi yang melihat dirinya sebagai pribadi yang berkembang terus. Menurut Scanzoni dan Scanzoni (1981) hubungan suami-istri dapat dibedakan menurut pola perkawinan yang ada. Mereka menyebut ada 4 macam pola perkawinan yaitu  owner property, head complement, senior junior  partner, dan equal partner.

 

a.    Pada pola perkawinan owner property,

Istri adalah milik suami sama seperti uang dan barang berharga lainnya. Tugas suami adalah mencari nafkah dan tugas istri adalah menyediakan makanan untuk suami dan anak-anak dan menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga yang lain karena suami telah bekerja untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya. Dalam pola perkawinan seperti ini berlaku norma :

1.    Tugas istri adalah untuk membahagiakan suami dan memenuhi semua keinginan dan kebutuhan rumah tangga suami.

2.    Istri harus menurut pada suami dalam segala hal.

3.    Istri harus melahirkan anak-anak yang akan membawa nama suami.

4.    Istri harus mendidik anak-anaknya sehingga anak-anaknya bisa membawa nama baik suami.

Pada pola perkawinan ini, istri dianggap bukan sebagai pribadi melainkan sebagai perpanjangan suaminya saja. Ia hanya merupakan kepentingan, kebutuhan, ambisi, dan cita-cita dari suami. Suami adalah bos dan istri harus tunduk padanya. Bila terjadi ketidaksepakatan, istri harus tunduk pada suami. Dengan demikian akan tercipta kestabilan dalam rumah tangga.

Tugas utama istri pada pola perkawinan seperti ini adalah untuk mengurus keluarga. Karena istri tergantung pada suami dalam hal pencarian nafkah, maka suami dianggap lebih mempunyai kuasa (wewenang). Kekuasaan suami dapat dikuatkan dengan adanya norma bahwa istri harus tunduk dan tergantung pada suami secara ekonomis. Dari sudut teori pertukaran, istri mendapatkan pengakuan dari kebutuhan yang disediakan suami. Istri mendapatkan pengakuan dari kerabat dan peer group berdasarkan suami.

Demikian juga dengan status sosial, status sosial istri mengikuti status sosial suami. Istri mendapat dukungan dan pengakuan dario orang lain karena ia telah menjalankan tugasnya dengan baik. Istri juga bertugas untuk memberikan kepuasan seksual kepada suami. Adalah hak suami untuk mendapatkan hal ini dari istrinya. Bila suami ingin melakukan hubungan seksual, istri harus menurut meskipun ia tidak menginginkannya. Suami bisa menceraikan istri dengan alasan bahwa istrinya tidak bisa memberikan kepuasan seksual. Bila istri ingin mengunjungi kerabat atau tetangga, tetapi suami menginginkan ia ada di rumah, istri harus menurut keinginan suami hanya karena normanya seperti itu. Istri  tidak boleh memiliki kepentingan pribadi. Kehidupan pribadi wanita menjadi hak suami begitu ia menikah, sehingga seakan-akan wanita tidak punya hak atas dirinya sendiri.

Sebagai contoh, di Nusa Tenggara Barat ada norma yang mengatakan bahwa istri tidak boleh mendahului suaminya dalam segala sesuatu. Sehingga setelah ada proyek jambanisasi, yaitu jamban baru dibuat di rumah-rumah penduduk, ada kasus bahwa seorang istri  dan anak-anaknya tidak berani menggunakannya terlebih dahulu karena suaminya masih bertugas ke luar kota. Pada kasus lain, seorang istri tidak berani menjenguk orang tuanya yang meninggal di luar kota, juga karena suaminya saat itu tidak berada di tempat. Pada masa lalu, di kalangan kelompok priyayi Jawa, suami bisa saja menceraikan istrinya sesuka hatinya bila ia sudah tidak menyukainya lagi. Dalam hal ini, istri tidak mempunyai hak bertanya apalagi protes. Pada pola perkawinan seperti ini, perkawinan lebih didasarkan pada garis keturunan dan pemilikan daripada kasih sayang. Pada pola perkawinan ini, hukuman fisik sering dilakukan oleh suami terhadap istri agar istri menurut padanya.

 

b.        Pada pola perkawinan yang  head-complement

Istri dilihat sebagai pelengkap suami. Suami diharapkan untuk memenuhi kebutuhan istri akan cinta dan kasih sayang, kepuasan seksual, dukungan emosi, teman, pengertian dan komunikasi yang terbuka. Suami dan istri memutuskan untuk mengatur kehidupan bersamanya secara bersama-sama. Tugas suami masih tetap mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, dan tugas istri masih tetap mengatur rumah tangga dan mendidik anak-anak. Tetapi suami dan istri kini bisa merencanakan kegiatan bersama untuk mengisi waktu luang.

Suami juga mulai membantu istri di saat dibutuhkan, misalnya mencuci piring atau menidurkan anak, bila suami mempunyai waktu luang. Tugas istri yang utama adalah mengatur rumah tangga dan memberikan dukungan pada suami sehingga suami bisa mencapai kemajuan dalam pekerjaannya. Suami mempunyai seseorang yang melengkapi dirinya.

Norma dalam perkawinan masih sama seperti dalam  owner property, kecuali dalam hal ketaatan. Dalam perkawinan owner property, suami bisa menyuruh istrinya untuk mengerjakan sesuatu, dan istri harus melakukannya. Tetapi dalam perkawinan  head-complement suami akan berkata, “Silakan kerjakan.” Sebaliknya, istri juga berhak untuk bertanya, “Mengapa” atau “Saya rasa itu tidak perlu.” Di sini suami tidak memaksakan keinginannya. Tetapi keputusan terakhir tetap ada ditangan suami, dengan mempertimbangkan keinginan istri sebagai pelengkapnya.

Dalam kondisi tertentu, istri bisa bekerja dengan izin suami. Di segi ekspresif, ada perubahan nilai di mana suami dan istri menjadi pacar dan teman. Mereka diharapkan untuk saling memenuhi kebutuhan, tidak hanya semata-mata dalam hal penghasilan, melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, kebutuhan seksual dan anak-anak. Mereka juga diharapkan untuk bisa menikmati kehadiran pasangannya sebagai pribadi, menemukan kesenangan dari kehadiran itu, saling percaya, dan berbagai masalah, pergi dan melakukan kegiatan bersama-sama.

Dalam pola perkawinan ini secara sosial istri menjadi atribut sosial suami yang penting. Istri harus mencerminkan posisi dan martabat suaminya, baik dalam tingkah laku sosial maupun dalam penampilan fisik material. Misalnya, seorang istri pejabat harus juga menjadi panutan bagi para istri anak buah suaminya. Ingat saja gejala Dharma Wanita. Ketua Dharma Wanita adalah istri pemimpin instansi yang bersangkutan.

Bila posisi suami meningkat, posisi istri pun ikut meningkat. Bila suami dipindahtugaskan, istri dan anak-anak pun ikut serta. Pada pola perkawinan seperti ini, ada dukungan dari istri untuk mendorong suksesnya suami. Usaha istri tersebut biasanya tidak terlihat dan kurang dihargai daripada pekerjaan yang mendapat upah.

Papanek (1979) seperti yang dikutip oleh Thompson dan Walker (1989) menggambarkan dukungan istri itu dalam bentuk memperhatikan pakaian, mengundang relasi, mengajarkan anak-anak akan nilai yang pantas, dan terlibat dalam politics of status maintenance.

 

c.         Pada pola perkawinan senior-junior partner

Posisi istri tidak lebih sebagai pelengkap suami, tetapi sudah menjadi teman. Perubahan ini terjadi karena istri juga memberikan sumbangan secara ekonomis meskipun pencari nafkah utama tetap suami. Dengan penghasilan yang didapat, istri tidak lagi sepenuhnya tergantung pada suami untuk hidup. Kini istri memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan.

Menurut teori pertukaran, istri mendapatkan kekuasaan dan suami kehilangan kekuasaan. Tetapi suami masih memiliki kekuasaan yang lebih besar dari istri karena posisinya sebagai pencari nafkah utama. Artinya, penghasilan istri tidak boleh lebih besar dari suami. Dengan begitu suami juga menentukan status sosial istri dan anak-anaknya. Ini berarti, istri yang berasal dari status sosial yang lebih tinggi, akan turun status sosialnya karena status sosialnya kini mengikuti status sosial suami.

Ciri perkawinan seperti inilah yang banyak terdapat sekarang ini. Istri bisa melanjutkan sekolah asal sekolah atau karier suami didahulukan. Istri juga bisa merintis karirnya sendiri setelah karir suami sukses. Dalam pola perkawinan seperti ini istri harus mengorbankan kariernya demi karir suaminya. Di kalangan beberapa instansi pemerintah, suami harus menjalani tugas di daerah sebelum bisa dipromosikan ke pangkat yang lebih tinggi. Demi karir suami inilah, seringkali istri rela berkorban.

 

d.        Pada pola perkawinan  equal partner

Tidak ada posisi yang lebih tinggi atau rendah di antara suami-istri. Istri mendapat hak dan kewajibannya yang sama untuk mengembangkan diri sepenuhnya dan melakukan tugas-tugas rumah tangga. Pekerjaan suami sama pentingnya dengan pekerjaan istri. Dengan demikian istri bisa pencari nafkah utama, artinya penghasilan istri bisa lebih tinggi dari suaminya. Dalam hubungan ini, alasan bekerja bagi wanita berbeda dengan alasan yang dikemukakan dalam pola perkawinan sebelumnya. Alasan untuk bekerja biasanya menjadi “sekolah untuk kerja” atau “supaya mandiri secara penuh.”

Dalam pola perkawinan ini, norma yang dianut adalah baik istri atau suami mempunyai kesempatan yang sama untuk berkembang, baik di bidang pekerjaan maupun secara ekspresif. Segala keputusan yang diambil di antara suami istri, saling mempertimbangkan kebutuhan dan kepuasaan masing-masing. Istri mendapat dukungan dan pengakuan dari orang lain karena kemampuannya sendiri dan tidak dikaitkan dengan suami. Dalam pola perkawinan seperti ini, perkembangan individu sebagai pribadi sangat diperhatikan.

Melalui analisis majalah wanita di Amerika Serikat dari tahun 1900 sampai tahun 1979, Cancian dan Gordon seperti yang dikutip oleh Thompson dan Walker (1989) melaporkan bahwa ada perubahan emosi pada perkawinan kelas menengah. Meskipun cinta dan perkawinan sebagai self sacrifice tetap merupakan pesan utama yang disampaikan pada wanita, ada kecenderungan untuk menuju pada cinta sebagai perasaan yang diekspresikan dan perkawinan sebagai tempat untuk mengembangkan diri. Konsep  seperti ini dalam perkawinan memungkinkan pria untuk mengekspresikan kebutuhan dan perasaannya dan wanita untuk mengekspresikan kemarahan mereka yang terkontrol.

Cancian dan Gordon menyimpulkan bahwa meskipun dalam perkawinan sekarang diperhatikan masalah keintiman yang emosional, wanita tetap bertanggungjawab untuk melihat apakah hal yang ideal ini terwujud dalam perkawinan.

 

2.        Hubungan Orang Tua – Anak

Berbeda dengan masa lalu, suami-istri kini bebas menentukan apakah mereka ingin punya anak atau tidak. Dan andaikata mereka menginginkan anak, dengan adanya alat kontrasepsi mereka juga lebih bebas menetapkan kapan mereka ingin punya anak dan berapa jumlah anak yang ingin mereka miliki.

Faktor kebijaksanaan pemerintah dapat mendorong orang untuk memilih lebih sedikit anak. Di Cina, misalnya banyak pasangan suami istri memilih untuk memiliki satu anak karena pemerintahannya hanya mau membiayai satu anak saja. Bila anak kedua lahir, pasangan suami istri harus membayar denda pada pemerintah. Di samping itu anak kedua dan seterusnya tidak akan mendapat tunjangan dari pemerintah. Di Indonesia, adanya peraturan pegawai negeri atau di kantor-kantor swasta yang hanya memberi tanggungan sampai anak ketiga atau bahkan kedua saja, juga dapat mendorong orang untuk mempunyai anak tidak terlalu banyak. Dengan diperkenalkannya program KB di Indonesia sejak tahun 1969, jumlah anak yang dilahirkan dalam keluarga juga mulai berkurang. Dan kini pendapat tentang “banyak anak banyak rejeki” yang kita kenal tampaknya juga mulai menghilang.

Secara umum kehadiran anak dalam keluarga dapat dilihat sebagai faktor yang menguntungkan orang tua dari segi psikologis, ekonomis dan sosial (Horowirz, 1985; Suparlan, 1989; Zinn dan Eitzen, 1990). Yaitu seperti beriktu :

-            Anak dapat lebih mengikat tali perkawinan. Pasangan suami istri merasa lebih puas dalam perkawinan dengan melihat perkembangan emosi dan fisik anak. Kehadiran anak juga telah mendorong komunikasi antara suami istri karena mereka merasakan pengalaman bersama anak mereka.

-            Orang tua merasa lebih muda dengan membayangkan masa muda mereka melalui kegiatan anak mereka.

-            Anak merupakan simbol yang menghubungkan masa depan dan masa lalu. Dalam kaitan ini, orang tua sering menemukan kebahagiaan diri mereka dalam anak-anak mereka, kepribadian, sifat, nilai, dan tingkat laku mereka diturunkan lewat anak-anak mereka.

-            Orang tua memiliki makna dan tujuan hidup dengan adanya anak.

-            Anak merupakan sumber kasih sayang dan perhatian.

-            Anak dapat meningkatkan status seseorang. Pada beberapa masyarakat, individu baru mempunyai hak suara setelah ia memiliki anak.

-            Anak merupakan penerus keturunan. Untuk mereka yang menganut sistem patrilineal, seperti Cina, Korea, Taiwan, dan Suku Batak, adanya anak laki-laki sangat diharapkan karena anak laki-laki akan meneruskan garis keturunan yang diwarisi lewat nama keluarga. Keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki dianggap tidak memiliki garis keturunan, dan keluarga itu dianggap akan punah.

-            Anak merupakan pewaris harta pusaka. Bagi masyarakat yang menganut sistem matrilineal, anak perempuan selain sebagai penerus keturunan, juga bertindak sebagai pewaris dan penjaga harta pusaka yang diwarisinya. Sedangkan anak laki-laki hanya mempunyai hak guna atau hak pakai. Sebaliknya, pada masyarakat yang menganut sistem patrilineal, anak laki-lakilah yang mewariskan harta pusaka.

-            Anak juga mempunyai nilai ekonomis yang penting. Di daerah pedesaan Jawa, anak sudah dapat membantu orang tua pada usia yang sangat muda. White (1982) menemukan bahwa umumnya anak mulai teratur membantu orang tua pada usia 7-9 tahun, tetapi juga ditemukan beberapa kasus anak yang membantu sejak mereka berumur 5-6 tahun. Anak laki-laki biasanya mengumpulkan rumput, memelihara ternak, mengolah sawah atau pekarangan, menjaga adik, dan mengambil air. Semakin besar usia mereka, semakin berat pekerjaan yang harus mereka lakukan.

Studi tentang hubungan orang tua – anak biasanya hanya membahas fungsi anak terhadap orang tua dan bukan sebaliknya. Fungsi orang tua terhadap anak dianggap sudah seharusnya berlangsung karena orang tua bertanggungjawab atas anak-anak mereka. Padahal tidak sedikit bantuan yang diberikan oleh orang tua meskipun anak seharusnya sudah bisa menghidupi diri mereka sendiri. Bantuan yang diberikan oleh orang tua misalnya, memberi tumpangan tempat tinggal pada anak mereka yang sudah dewasa termasuk mereka yang sudah menikah. Berbeda dengan di negara Barat, di mana pada umur 18 tahun biasanya anak sudah meninggalkan rumah orang tua, di Indonesia anak biasanya masih tinggal bersama dengan orang tua sampai mereka menikah. Bila setelah menikah mereka belum mendapatkan rumah, biasanya orang tua juga mengizinkan anak, mantu dan bahkan cucu untuk tinggal bersama-sama. Sehingga kini dikenal dengan istilah tinggal di “pondok mertua indah”.

Orang tua juga biasanya membiayai sekolah anak sampai ke perguruan tinggi. Tidak jarang orang tua juga memberi bantuan keuangan pada anak mereka yang sudah menikah tetapi belum mempunyai penghasilan yang cukup. Lewis (1990) mengutip beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa pada usia menengah (middle age), orang tua memberi banyak bantuan pada anak mereka yang sudah menikah. Banyak bantuan diberikan dalam bentuk hadiah, khususnya anak perempuan, sehingga peran menantu pria tidak dilecehkan.

Hubungan orang tua – anak ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adams, seperti yang dikutip oleh Lewis (1990) menemukan bahwa kedekatan tempat tinggal tidak berpengaruh pada bantuan keuangan, tetapi pada jasa yang diberikan pada anak. Faktor lain yang ikut berpengaruh adalah lamanya pernikahan anak, jenis kelamin anak, kelas sosial, kesepakatan antara ibu dan ayah, dan persamaan budaya dalam perkawinan (Lewis, 1990).

 

3.        Hubungan Antar Saudara (Siblings)

Berbeda dengan hubungan antara suami-istri dan orang tua – anak, hubungan antar saudara lebih jarang dibahas dalam literatur  tentang keluarga. Adanya pandangan bahwa kontak yang lebih sering antara anak dewasa dan orang tua mereka, bisa disebut sebagai penyebabnya (Adams, 1971). Padahal, secara potensial hubungan antar manusia yang lain, karena hubungan antar saudara terjadi sejak seorang adik dilahirkan sampai salah satu dari mereka meninggal (Cicirelli, 1980). Kebanyakan penelitian tentang saudara (siblings) berkaitan dengan masa kanak-kanak atau usia lanjut (lee, Mancini dan Maxwell, 1990).

Hubungan antar saudara bisa dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, jumlah, jarak kelahiran, rasio saudara laki terhadap saudara perempuan, umur orang tua pada saat mempunyai anak pertama, dan umur anak mereka keluar dari rumah (Schvaneveldt dan Ihinger, 1979).

Kedekatan emosi, harapan akan adanya tanggung jawab saudara, dan konflik antar saudara  (siblings), dianggap sebagai faktor yang penting dalam interaksi antar mereka (Lee, Mancini dan Maxwell, 1990). Kedekatan emosi termasuk adanya rasa ingin berbagai pengalaman, kepercayaan, perhatian, dan perasaan senang dalam hubungan tersebut. Scott (1990) mengutip beberapa penelitian yang menemukan bahwa secara emosi hubungan antar saudara baik laki-laki maupun perempuan pada usia lanjut lebih erat dibandingkan ketika mereka masih pada usia sebelumnya. Lebih besarnya kebutuhan pada usia lanjut, perasaan yang kuat sebagai keluarga, perubahan persepsi karena perbedaan usia, adalah beberapa alasan yang bisa disebutkan untuk membedakan kedekatan emosi tersebut. Pada masa usia lanjut, saudara penting untuk saling memberikan dukungan dan perhatian.

Salah satu faktor yang mempengaruhi kedekatan hubungan antar saudara adalah kompisisi gender. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa hubungan antar dua  (dyad) saudara wanita di usia lanjut lebih kuat dibandingkan dengan hubungan antar dua  (dyad) saudara pria. Bahkan hubungan  (dyad) yang mengandung unsur satu saudara wanita akan lebih kuat daripada hubungan (dyad) antar saudara pria saja (Scott, 1990). Lebih kuatnya hubungan pada saudara wanita dibanding saudara pria bisa didasarkan atas asumsi bahwa wanita diharapkan untuk lebih memperhatikan masalah-masalah yang ada dalam keluarga, termasuk merawat anak, melayani suami, merawat orang tua mereka yang sudah lanjut usia, dan juga menjaga hubungan dengan saudara mereka. Harapan terhadap wanita untuk membina hubungan dengan anggota keluarga sudah ditanamkan sejak kecil. Kaum pria dianggap orang yang berorientasi pada pekerjaan, mampu mengendalikan diri, dan siap terjun ke dalam dunia yang sangat kompetitif. Sehingga pria umumnya tidak mampu menunjukkan emosinya dan takut emosinya terluka. Oleh karena itu lebih sulit bagi mereka untuk membina hubungan yang mendalam dengan orang lain, khususnya dengan sesama pria karena biasanya hubungan antar pria dibangun atas dasar kompetisi (Keadilan, 1993).

Di masa mendatang, studi tentang hubungan antar saudara perlu memperhatikan jumlah anggota keluarga yang berubah, karena besarnya jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi hubungan antar saudara di usia lanjut mereka (Cicirelli, 1980, Scott, 1990). Jumlah dan proporsi orang lanjut usia di dunia semakin meningkat. Di Indonesia, pada tahun 1971 penduduk berusia 55 tahun ke atas berjumlah sekitar 7,5 juta jiwa atau 6,4 % (BPS, 1971). Pada tahun 1980 jumlah mereka meningkat menjadi 11,4 juta jiwa atau 7,8 % (BPS, 1990). Dalam tahun 1990 jumlah mereka menjadi  16,1 juta jiwa atau 9,0 % (BPS, 1990).

Jika pasangan suami istri yang tetap hidup sampai usia lanjut tidak mempunyai anak, atau mempunyai satu atau dua orang anak saja, akan lebih sedikit anak yang biasa membantu orang tua di usia lanjut mereka, baik sebagai teman, memberi dukungan secara psikologis, atau bentuk bantuan lainnya. Karena jumlah orang yang berusia lanjut semakin meningkat dan mereka mempunyai jumlah saudara lebih besar dibandingkan jumlah anak yang mereka miliki, hubungan antar saudara diharapkan akan menjadi lebih penting. Hubungan tersebut dapat berbentuk saling tukar menukar bantuan di antara mereka.


BAB III
PENUTUP


A.      KESIMPULAN
B.       SARAN
       Adapun saran yang disampaikan oleh kami pada kesempatan ini, kepada rekan-rekan yang membaca agar mempergunakan makalah ini sebagai bahan kajian dalam memahami Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PK-PAI) khususnya masalah yang berkaitan dengan pendekatan dan model pembelajaran atau kurikulum.
                                                

DAFTAR PUSTAKA


Baharudim, Yusuk, 1998. Administrasi Pendidikan, Bandung : Pustaka Setia
Drs. M. Ngalim Purwanto dkk, 1981, Administrasi Pendidikan, Jakarta : Mutiara