BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Manusia adalah sebagai makhluk
individu dalam arti tidak dapat di pisahkan antara jiwa dan raganya, oleh
karena itu dalam proses perkembangannya perlu keterpaduan antara perkembangan
jasmani maupun rohaninya.
Sebagai makhluk sosial seorang
individu tidak dapat berdiri sendiri, saling membutuhkan antara yang satu
dengan yang lainnya, dan saling mengadakan hubungan sosial di tengah–tengah masyarakat.
Keluarga dengan berbagai fungsi yang dijalankan adalah sebagai wahana dimana
seorang individu mengalami proses sosialisasi yang pertama kali, sangat penting
artinya dalam mengarahkan terbentuknya individu menjadi seorang yang
berpribadi.
Sebagai bagian yang tak
terpisahkan dengan masyarakat, keluarga mempunyai korelasi fungsional dengan
masyarakat tertentu, oleh karena itu dalam proses pengembangan individu menjadi
seorang yang berpribadi hendaknya diarahkan sesuai dengan struktur masyarakat
yang ada, sehingga seorang individu menjadi seorang yang dewasa dalam
arti mampu mengendalikan diri dan melakukan hubungan – hubungan sosial di dalam
masyarakat yang cukup majemuk.
Masyarakat adalah kelompok manusia
yang saling berinteraksi yang memiliki prasarana untuk kegiatan tersebut dan
adanya saling keterikatan untuk mencapai tujuan bersama. Masyarakat adalah
tempat kita bisa melihat dengan jelas proyeksi individu sebagai bagian
keluarga, keluarga sebagai tempat terprosesnya, dan masyarakat adalah tempat
kita melihat hasil dari proyeksi tersebut.
Individu yang berada dalam
masyarakat tertentu berarti ia berada pada suatu konteks budaya tertentu. Pada
tahap inilah arti keunikan individu itu menjadi jelas dan bermakna, artinya
akan dengan mudah dirumuskan gejala – gejalanya. Karena di sini akan terlibat
individu sebagai perwujudan dirinya sendiri dan merupakan makhluk sosial
sebagai perwujudan anggota kelompok atau anggota masyarakat.
B.
RUMUSAN MASALAH
Secara umum
rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah berkaitan dengan Hubungan Antara Keluarga yang merupakan
bagian dari Mata Kuliah Pendidikan Dalam Keluarga (PDK). Supaya lebih
mempermudah pembahasannya, rumusan masalah ini diuraikan dalam bentuk
pertanyaan, yaitu sebagai berikut :
1. Apa pengertian keluarga itu ?
2. Bagaimana hubungan yang dibina antara anggota keluarga ?
C.
TUJUAN
Secara khusus
makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Dalam Keluarga
(PDK). Tetapi secara umum sama dengan adanya rumusan masalah yang telah
dipaparkan, dengan membaca makalah ini kita dapat mengetahui :
1. Pengertian keluarga.
2. Hubungan yang dibina antara anggota keluarga.
D.
MANFAAT
Manfaat dari makalah ini adalah
supaya kita tahu apa yang dinamakan dengan keluarga itu, karena bukan tidak
mungkin kita semuanya pasti akan merasakan bagaimana rasanya membina rumah
tangga, dan keluarga dengan berbagai fungsi yang dijalankan adalah sebagai
wahana dimana seorang individu mengalami proses sosialisasi yang pertama kali,
sangat penting artinya dalam mengarahkan terbentuknya individu menjadi seorang
yang berpribadi. Jadi makalah ini membantu menambah wawasan kita tentang
keluarga terutama yang paling inti yaitu Hubungan
Antara Keluarga. Dan mudah-mudahan makalah yang amat sederhana ini bisa
menjadi bahan diskusi untuk kita semuanya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KELUARGA
Keluarga berasal dari bahasa
Sansekerta
"kulawarga". Kata
kula
berarti "ras" dan
warga
yang berarti "anggota".
Keluarga
adalah lingkungan di mana terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan
darah.
Keluarga sebagai kelompok sosial
terdiri dari sejumlah
individu,
memiliki hubungan antar individu, terdapat ikatan, kewajiban, tanggung jawab di
antara individu tersebut.
Jadi keluarga
adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan
beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap
dalam keadaan saling ketergantungan.
Menurut Salvicion dan Celis
(1998) di dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang
tergabung karena hubungan
darah,
hubungan perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga,
berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan
serta mempertahankan suatu
kebudayaan.
Ada beberapa tipe keluarga yakni
keluarga inti yang
terdiri dari suami, istri, dan anak atau anak-anak,
keluarga
konjugal yang terdiri dari pasangan dewasa (ibu dan ayah) dan anak-anak
mereka, dimana terdapat interaksi dengan kerabat dari salah satu atau dua pihak
orang tua.
Selain itu terdapat juga keluarga
luas yang ditarik atas dasar garis keturunan di atas keluarga aslinya
. Keluarga luas ini meliputi hubungan antara paman, bibi,
keluarga kakek, dan keluarga nenek.
Peranan keluarga menggambarkan
seperangkat perilaku antar pribadi, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan
pribadi dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan pribadi dalam keluarga
didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga,
kelompok dan
masyarakat.
Berbagai peranan yang terdapat di
dalam keluarga adalah sebagai berikut :
-
Ayah
sebagai
suami dari
istri dan
anak-anak, berperan sebagai
pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai
kepala keluarga, sebagai anggota
dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta
sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.
-
Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu
mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik
anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya
serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu
dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.
-
Anak-anak melaksanakan peranan psikosial sesuai
dengan tingkat perkembangannya baik
fisik,
mental,
sosial, dan spiritual.
Pada dasarnya tugas keluarga ada
delapan tugas pokok sebagai berikut :
1.
Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya.
2.
Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam
keluarga.
3.
Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai
dengan kedudukannya masing-masing.
4.
Sosialisasi antar anggota
keluarga.
5.
Pengaturan jumlah anggota keluarga.
6.
Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga.
7.
Penempatan anggota-anggota keluarga dalam
masyarakat yang lebih luas.
8.
Membangkitkan dorongan dan semangat para
anggotanya.
Kemudian ada beberapa fungsi yang
dijalankan oleh keluarga, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.
Fungsi
Pendidikan dilihat dari
bagaimana keluarga mendidik dan menyekolahkan anak untuk mempersiapkan
kedewasaan dan masa depan anak.
2.
Fungsi Sosialisasi anak dilihat dari bagaimana keluarga
mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik.
3.
Fungsi Perlindungan dilihat dari bagaimana
keluarga melindungi anak sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa
aman.
4.
Fungsi Perasaan dilihat dari bagaimana keluarga
secara instuitif merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota yang lain
dalam berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama anggota keluarga. Sehingga
saling pengertian satu sama lain dalam menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga.
5.
Fungsi
Agama dilihat dari bagaimana
keluarga memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga lain melalui
kepala keluarga menanamkan keyakinan yang mengatur kehidupan kini dan kehidupan
lain setelah dunia.
6.
Fungsi
Ekonomi dilihat dari bagaimana
kepala keluarga mencari penghasilan, mengatur penghasilan sedemikian rupa
sehingga dapat memenuhi rkebutuhan-kebutuhan keluarga.
7.
Fungsi Rekreatif dilihat dari bagaimana
menciptakan suasana yang menyenangkan dalam keluarga, seperti acara nonton TV
bersama, bercerita tentang pengalaman masing-masing, dan lainnya.
8.
Fungsi
Biologis dilihat dari
bagaimana keluarga meneruskan keturunan sebagai generasi selanjutnya.
9.
Memberikan kasih sayang, perhatian,dan rasa aman
diaantara keluarga, serta membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga.
Ada dua macam bentuk keluarga
dilihat dari bagaimana keputusan diambil, yaitu berdasarkan lokasi dan
berdasarkan pola otoritas.
1.
Berdasarkan lokasi
-
Adat utrolokal, yaitu adat yang memberi
kebebasan kepada sepasang suami istri untuk memilih tempat tinggal, baik itu di
sekitar kediaman kaum kerabat suami ataupun di sekitar kediamanan kaum kerabat
istri;
-
Adat virilokal, yaitu adat yang menentukan bahwa
sepasang suami istri diharuskan menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat
suami;
-
Adat uxurilokal, yaitu adat yang menentukan
bahwa sepasang suami istri harus tinggal di sekitar kediaman kaum kerabat
istri;
-
Adat bilokal, yaitu adat yang menentukan bahwa
sepasang suami istri dapat tinggal di sekitar pusat kediaman kerabat suami pada
masa tertentu, dan di sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri pada masa
tertentu pula (bergantian);
-
Adat neolokal, yaitu adat yang menentukan bahwa
sepasang suami istri dapat menempati tempat yang baru, dalam arti kata tidak
berkelompok bersama kaum kerabat suami maupun istri;
-
Adat avunkulokal, yaitu adat yang mengharuskan
sepasang suami istri untuk menetap di sekitar tempat kediaman saudara laki-laki
ibu (avunculus) dari pihak suami;
-
Adat natalokal, yaitu adat yang menentukan bahwa
suami dan istri masing-masing hidup terpisah, dan masing-masing dari mereka
juga tinggal di sekitar pusat kaum kerabatnya sendiri .
2.
Berdasarkan pola otoritas
-
Patriarkal, yakni otoritas di dalam keluarga
dimiliki oleh laki-laki (laki-laki tertua, umumnya ayah).
-
Matriarkal, yakni otoritas di dalam keluarga
dimiliki oleh perempuan (perempuan tertua, umumnya ibu).
-
Equalitarian, yakni suami dan istri berbagi
otoritas secara seimbang.
B. HUBUNGAN ANTARA KELUARGA
1.
Hubungan
Suami Istri
Dalam perkembangan sejarah,
hubungan antar suami-istri pada kelas menengah berubah dari hubungan yang ada
pada keluarga yang institusional ke hubungan yang ada pada keluarga yang companionship (Burges dan Locke, 1960).
Hubungan antar suami-istri pada keluarga yang institusional ditentukan oleh
faktor-faktor di luar keluarga seperti adat, pendapat umum dan hukum. Baru
kemudian dalam perkembangan selanjutnya, pengaruh faktor-faktor tersebut mulai
berkurang. Hubungan antar suami-istri lebih didasarkan atas pengertian dan
kasih sayang timbal balik serta kesepakatan mereka berdua.
Duvall (1967) menyebut pola
hubungan suami-istri dalam keluarga yang institusional sebagai pola yang
otoriter, sedangkan pola hubungan suami-istri dalam keluarga yang companionship sebagai pola yang demokratis.
Perubahan tersebut terjadi karena adanya perubahan sosial dalam masyarakat dan
keluarga menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Dengan begitu keluarga
bisa tetap bertahan. Pola hubungan yang otoriter menunjukkan pola hubungan yang
kaku. Sebaliknya, dalam pola yang demokratis hubungan suami-istri menjadi lebih
lentur. Pada pola yang kaku, seorang istri yang baik adalah istri yang melayani
suami dan anak-anaknya. Sedangkan pada pola yang lentur, istri yang baik adalah
pribadi yang melihat dirinya sebagai pribadi yang berkembang terus. Menurut
Scanzoni dan Scanzoni (1981) hubungan suami-istri dapat dibedakan menurut pola
perkawinan yang ada. Mereka menyebut ada 4 macam pola perkawinan yaitu owner property, head complement, senior
junior partner, dan equal partner.
a.
Pada
pola perkawinan owner property,
Istri adalah milik suami sama seperti uang dan barang berharga lainnya.
Tugas suami adalah mencari nafkah dan tugas istri adalah menyediakan makanan
untuk suami dan anak-anak dan menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga yang lain
karena suami telah bekerja untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya. Dalam
pola perkawinan seperti ini berlaku norma :
1.
Tugas istri adalah untuk
membahagiakan suami dan memenuhi semua keinginan dan kebutuhan rumah tangga suami.
2.
Istri harus menurut pada suami
dalam segala hal.
3.
Istri harus melahirkan anak-anak
yang akan membawa nama suami.
4.
Istri harus mendidik anak-anaknya
sehingga anak-anaknya bisa membawa nama baik suami.
Pada pola perkawinan ini, istri dianggap bukan sebagai pribadi melainkan
sebagai perpanjangan suaminya saja. Ia hanya merupakan kepentingan, kebutuhan,
ambisi, dan cita-cita dari suami. Suami adalah bos dan istri harus tunduk
padanya. Bila terjadi ketidaksepakatan, istri harus tunduk pada suami. Dengan
demikian akan tercipta kestabilan dalam rumah tangga.
Tugas utama istri pada pola perkawinan seperti ini adalah untuk mengurus
keluarga. Karena istri tergantung pada suami dalam hal pencarian nafkah, maka
suami dianggap lebih mempunyai kuasa (wewenang). Kekuasaan suami dapat
dikuatkan dengan adanya norma bahwa istri harus tunduk dan tergantung pada
suami secara ekonomis. Dari sudut teori pertukaran, istri mendapatkan pengakuan
dari kebutuhan yang disediakan suami. Istri mendapatkan pengakuan dari kerabat
dan peer group berdasarkan suami.
Demikian juga dengan status sosial, status sosial istri mengikuti status
sosial suami. Istri mendapat dukungan dan pengakuan dario orang lain karena ia
telah menjalankan tugasnya dengan baik. Istri juga bertugas untuk memberikan
kepuasan seksual kepada suami. Adalah hak suami untuk mendapatkan hal ini dari
istrinya. Bila suami ingin melakukan hubungan seksual, istri harus menurut
meskipun ia tidak menginginkannya. Suami bisa menceraikan istri dengan alasan bahwa
istrinya tidak bisa memberikan kepuasan seksual. Bila istri ingin mengunjungi
kerabat atau tetangga, tetapi suami menginginkan ia ada di rumah, istri harus
menurut keinginan suami hanya karena normanya seperti itu. Istri tidak boleh memiliki kepentingan pribadi.
Kehidupan pribadi wanita menjadi hak suami begitu ia menikah, sehingga
seakan-akan wanita tidak punya hak atas dirinya sendiri.
Sebagai contoh, di Nusa Tenggara Barat ada norma yang mengatakan bahwa
istri tidak boleh mendahului suaminya dalam segala sesuatu. Sehingga setelah
ada proyek jambanisasi, yaitu jamban baru dibuat di rumah-rumah penduduk, ada
kasus bahwa seorang istri dan anak-anaknya
tidak berani menggunakannya terlebih dahulu karena suaminya masih bertugas ke
luar kota. Pada kasus lain, seorang istri tidak berani menjenguk orang tuanya
yang meninggal di luar kota, juga karena suaminya saat itu tidak berada di
tempat. Pada masa lalu, di kalangan kelompok priyayi Jawa, suami bisa saja
menceraikan istrinya sesuka hatinya bila ia sudah tidak menyukainya lagi. Dalam
hal ini, istri tidak mempunyai hak bertanya apalagi protes. Pada pola
perkawinan seperti ini, perkawinan lebih didasarkan pada garis keturunan dan
pemilikan daripada kasih sayang. Pada pola perkawinan ini, hukuman fisik sering
dilakukan oleh suami terhadap istri agar istri menurut padanya.
b.
Pada
pola perkawinan yang head-complement
Istri dilihat sebagai pelengkap suami. Suami diharapkan untuk memenuhi
kebutuhan istri akan cinta dan kasih sayang, kepuasan seksual, dukungan emosi,
teman, pengertian dan komunikasi yang terbuka. Suami dan istri memutuskan untuk
mengatur kehidupan bersamanya secara bersama-sama. Tugas suami masih tetap
mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, dan tugas istri masih tetap
mengatur rumah tangga dan mendidik anak-anak. Tetapi suami dan istri kini bisa
merencanakan kegiatan bersama untuk mengisi waktu luang.
Suami juga mulai membantu istri di saat dibutuhkan, misalnya mencuci
piring atau menidurkan anak, bila suami mempunyai waktu luang. Tugas istri yang
utama adalah mengatur rumah tangga dan memberikan dukungan pada suami sehingga
suami bisa mencapai kemajuan dalam pekerjaannya. Suami mempunyai seseorang yang
melengkapi dirinya.
Norma dalam perkawinan masih sama seperti dalam owner property, kecuali dalam hal ketaatan.
Dalam perkawinan owner property, suami bisa menyuruh istrinya untuk mengerjakan
sesuatu, dan istri harus melakukannya. Tetapi dalam perkawinan head-complement suami akan berkata, “Silakan
kerjakan.” Sebaliknya, istri juga berhak untuk bertanya, “Mengapa” atau “Saya
rasa itu tidak perlu.” Di sini suami tidak memaksakan keinginannya. Tetapi keputusan
terakhir tetap ada ditangan suami, dengan mempertimbangkan keinginan istri
sebagai pelengkapnya.
Dalam kondisi tertentu, istri bisa bekerja dengan izin suami. Di segi
ekspresif, ada perubahan nilai di mana suami dan istri menjadi pacar dan teman.
Mereka diharapkan untuk saling memenuhi kebutuhan, tidak hanya semata-mata
dalam hal penghasilan, melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, kebutuhan
seksual dan anak-anak. Mereka juga diharapkan untuk bisa menikmati kehadiran
pasangannya sebagai pribadi, menemukan kesenangan dari kehadiran itu, saling
percaya, dan berbagai masalah, pergi dan melakukan kegiatan bersama-sama.
Dalam pola perkawinan ini secara sosial istri menjadi atribut sosial
suami yang penting. Istri harus mencerminkan posisi dan martabat suaminya, baik
dalam tingkah laku sosial maupun dalam penampilan fisik material. Misalnya,
seorang istri pejabat harus juga menjadi panutan bagi para istri anak buah
suaminya. Ingat saja gejala Dharma Wanita. Ketua Dharma Wanita adalah istri
pemimpin instansi yang bersangkutan.
Bila posisi suami meningkat, posisi istri pun ikut meningkat. Bila suami
dipindahtugaskan, istri dan anak-anak pun ikut serta. Pada pola perkawinan
seperti ini, ada dukungan dari istri untuk mendorong suksesnya suami. Usaha
istri tersebut biasanya tidak terlihat dan kurang dihargai daripada pekerjaan
yang mendapat upah.
Papanek (1979) seperti yang dikutip oleh Thompson dan Walker (1989)
menggambarkan dukungan istri itu dalam bentuk memperhatikan pakaian, mengundang
relasi, mengajarkan anak-anak akan nilai yang pantas, dan terlibat dalam
politics of status maintenance.
c.
Pada
pola perkawinan senior-junior partner
Posisi istri tidak lebih sebagai pelengkap suami, tetapi sudah menjadi
teman. Perubahan ini terjadi karena istri juga memberikan sumbangan secara
ekonomis meskipun pencari nafkah utama tetap suami. Dengan penghasilan yang
didapat, istri tidak lagi sepenuhnya tergantung pada suami untuk hidup. Kini
istri memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan.
Menurut teori pertukaran, istri mendapatkan kekuasaan dan suami
kehilangan kekuasaan. Tetapi suami masih memiliki kekuasaan yang lebih besar
dari istri karena posisinya sebagai pencari nafkah utama. Artinya, penghasilan
istri tidak boleh lebih besar dari suami. Dengan begitu suami juga menentukan
status sosial istri dan anak-anaknya. Ini berarti, istri yang berasal dari
status sosial yang lebih tinggi, akan turun status sosialnya karena status
sosialnya kini mengikuti status sosial suami.
Ciri perkawinan seperti inilah yang banyak terdapat sekarang ini. Istri
bisa melanjutkan sekolah asal sekolah atau karier suami didahulukan. Istri juga
bisa merintis karirnya sendiri setelah karir suami sukses. Dalam pola
perkawinan seperti ini istri harus mengorbankan kariernya demi karir suaminya.
Di kalangan beberapa instansi pemerintah, suami harus menjalani tugas di daerah
sebelum bisa dipromosikan ke pangkat yang lebih tinggi. Demi karir suami
inilah, seringkali istri rela berkorban.
d.
Pada
pola perkawinan equal partner
Tidak ada posisi yang lebih tinggi atau rendah di antara suami-istri.
Istri mendapat hak dan kewajibannya yang sama untuk mengembangkan diri
sepenuhnya dan melakukan tugas-tugas rumah tangga. Pekerjaan suami sama
pentingnya dengan pekerjaan istri. Dengan demikian istri bisa pencari nafkah
utama, artinya penghasilan istri bisa lebih tinggi dari suaminya. Dalam
hubungan ini, alasan bekerja bagi wanita berbeda dengan alasan yang dikemukakan
dalam pola perkawinan sebelumnya. Alasan untuk bekerja biasanya menjadi
“sekolah untuk kerja” atau “supaya mandiri secara penuh.”
Dalam pola perkawinan ini, norma yang dianut adalah baik istri atau suami
mempunyai kesempatan yang sama untuk berkembang, baik di bidang pekerjaan
maupun secara ekspresif. Segala keputusan yang diambil di antara suami istri,
saling mempertimbangkan kebutuhan dan kepuasaan masing-masing. Istri mendapat
dukungan dan pengakuan dari orang lain karena kemampuannya sendiri dan tidak
dikaitkan dengan suami. Dalam pola perkawinan seperti ini, perkembangan
individu sebagai pribadi sangat diperhatikan.
Melalui analisis majalah wanita di Amerika Serikat dari tahun 1900 sampai
tahun 1979, Cancian dan Gordon seperti yang dikutip oleh Thompson dan Walker
(1989) melaporkan bahwa ada perubahan emosi pada perkawinan kelas menengah.
Meskipun cinta dan perkawinan sebagai self sacrifice tetap merupakan pesan
utama yang disampaikan pada wanita, ada kecenderungan untuk menuju pada cinta
sebagai perasaan yang diekspresikan dan perkawinan sebagai tempat untuk
mengembangkan diri. Konsep seperti ini
dalam perkawinan memungkinkan pria untuk mengekspresikan kebutuhan dan
perasaannya dan wanita untuk mengekspresikan kemarahan mereka yang terkontrol.
Cancian dan Gordon menyimpulkan bahwa meskipun dalam perkawinan sekarang
diperhatikan masalah keintiman yang emosional, wanita tetap bertanggungjawab
untuk melihat apakah hal yang ideal ini terwujud dalam perkawinan.
2.
Hubungan
Orang Tua – Anak
Berbeda dengan masa lalu,
suami-istri kini bebas menentukan apakah mereka ingin punya anak atau tidak.
Dan andaikata mereka menginginkan anak, dengan adanya alat kontrasepsi mereka
juga lebih bebas menetapkan kapan mereka ingin punya anak dan berapa jumlah
anak yang ingin mereka miliki.
Faktor kebijaksanaan pemerintah
dapat mendorong orang untuk memilih lebih sedikit anak. Di Cina, misalnya
banyak pasangan suami istri memilih untuk memiliki satu anak karena
pemerintahannya hanya mau membiayai satu anak saja. Bila anak kedua lahir, pasangan
suami istri harus membayar denda pada pemerintah. Di samping itu anak kedua dan
seterusnya tidak akan mendapat tunjangan dari pemerintah. Di Indonesia, adanya
peraturan pegawai negeri atau di kantor-kantor swasta yang hanya memberi
tanggungan sampai anak ketiga atau bahkan kedua saja, juga dapat mendorong
orang untuk mempunyai anak tidak terlalu banyak. Dengan diperkenalkannya
program KB di Indonesia sejak tahun 1969, jumlah anak yang dilahirkan dalam
keluarga juga mulai berkurang. Dan kini pendapat tentang “banyak anak banyak
rejeki” yang kita kenal tampaknya juga mulai menghilang.
Secara umum kehadiran anak dalam
keluarga dapat dilihat sebagai faktor yang menguntungkan orang tua dari segi
psikologis, ekonomis dan sosial (Horowirz, 1985; Suparlan, 1989; Zinn dan
Eitzen, 1990). Yaitu seperti beriktu :
-
Anak dapat lebih mengikat tali
perkawinan. Pasangan suami istri merasa lebih puas dalam perkawinan dengan
melihat perkembangan emosi dan fisik anak. Kehadiran anak juga telah mendorong
komunikasi antara suami istri karena mereka merasakan pengalaman bersama anak
mereka.
-
Orang tua merasa lebih muda
dengan membayangkan masa muda mereka melalui kegiatan anak mereka.
-
Anak merupakan simbol yang
menghubungkan masa depan dan masa lalu. Dalam kaitan ini, orang tua sering
menemukan kebahagiaan diri mereka dalam anak-anak mereka, kepribadian, sifat,
nilai, dan tingkat laku mereka diturunkan lewat anak-anak mereka.
-
Orang tua memiliki makna dan
tujuan hidup dengan adanya anak.
-
Anak merupakan sumber kasih
sayang dan perhatian.
-
Anak dapat meningkatkan status
seseorang. Pada beberapa masyarakat, individu baru mempunyai hak suara setelah
ia memiliki anak.
-
Anak merupakan penerus keturunan.
Untuk mereka yang menganut sistem patrilineal, seperti Cina, Korea, Taiwan, dan
Suku Batak, adanya anak laki-laki sangat diharapkan karena anak laki-laki akan
meneruskan garis keturunan yang diwarisi lewat nama keluarga. Keluarga yang
tidak memiliki anak laki-laki dianggap tidak memiliki garis keturunan, dan
keluarga itu dianggap akan punah.
-
Anak merupakan pewaris harta
pusaka. Bagi masyarakat yang menganut sistem matrilineal, anak perempuan selain
sebagai penerus keturunan, juga bertindak sebagai pewaris dan penjaga harta
pusaka yang diwarisinya. Sedangkan anak laki-laki hanya mempunyai hak guna atau
hak pakai. Sebaliknya, pada masyarakat yang menganut sistem patrilineal, anak
laki-lakilah yang mewariskan harta pusaka.
-
Anak juga mempunyai nilai
ekonomis yang penting. Di daerah pedesaan Jawa, anak sudah dapat membantu orang
tua pada usia yang sangat muda. White (1982) menemukan bahwa umumnya anak mulai
teratur membantu orang tua pada usia 7-9 tahun, tetapi juga ditemukan beberapa
kasus anak yang membantu sejak mereka berumur 5-6 tahun. Anak laki-laki
biasanya mengumpulkan rumput, memelihara ternak, mengolah sawah atau
pekarangan, menjaga adik, dan mengambil air. Semakin besar usia mereka, semakin
berat pekerjaan yang harus mereka lakukan.
Studi tentang hubungan orang tua
– anak biasanya hanya membahas fungsi anak terhadap orang tua dan bukan
sebaliknya. Fungsi orang tua terhadap anak dianggap sudah seharusnya
berlangsung karena orang tua bertanggungjawab atas anak-anak mereka. Padahal tidak
sedikit bantuan yang diberikan oleh orang tua meskipun anak seharusnya sudah
bisa menghidupi diri mereka sendiri. Bantuan yang diberikan oleh orang tua
misalnya, memberi tumpangan tempat tinggal pada anak mereka yang sudah dewasa
termasuk mereka yang sudah menikah. Berbeda dengan di negara Barat, di mana
pada umur 18 tahun biasanya anak sudah meninggalkan rumah orang tua, di
Indonesia anak biasanya masih tinggal bersama dengan orang tua sampai mereka
menikah. Bila setelah menikah mereka belum mendapatkan rumah, biasanya orang
tua juga mengizinkan anak, mantu dan bahkan cucu untuk tinggal bersama-sama.
Sehingga kini dikenal dengan istilah tinggal di “pondok mertua indah”.
Orang tua juga biasanya membiayai
sekolah anak sampai ke perguruan tinggi. Tidak jarang orang tua juga memberi
bantuan keuangan pada anak mereka yang sudah menikah tetapi belum mempunyai
penghasilan yang cukup. Lewis (1990) mengutip beberapa penelitian yang
menunjukkan bahwa pada usia menengah (middle age), orang tua memberi banyak bantuan
pada anak mereka yang sudah menikah. Banyak bantuan diberikan dalam bentuk
hadiah, khususnya anak perempuan, sehingga peran menantu pria tidak dilecehkan.
Hubungan orang tua – anak ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adams, seperti yang dikutip oleh Lewis (1990)
menemukan bahwa kedekatan tempat tinggal tidak berpengaruh pada bantuan
keuangan, tetapi pada jasa yang diberikan pada anak. Faktor lain yang ikut
berpengaruh adalah lamanya pernikahan anak, jenis kelamin anak, kelas sosial,
kesepakatan antara ibu dan ayah, dan persamaan budaya dalam perkawinan (Lewis,
1990).
3.
Hubungan Antar Saudara (Siblings)
Berbeda dengan hubungan antara
suami-istri dan orang tua – anak, hubungan antar saudara lebih jarang dibahas
dalam literatur tentang keluarga. Adanya
pandangan bahwa kontak yang lebih sering antara anak dewasa dan orang tua
mereka, bisa disebut sebagai penyebabnya (Adams, 1971). Padahal, secara
potensial hubungan antar manusia yang lain, karena hubungan antar saudara
terjadi sejak seorang adik dilahirkan sampai salah satu dari mereka meninggal
(Cicirelli, 1980). Kebanyakan penelitian tentang saudara (siblings) berkaitan
dengan masa kanak-kanak atau usia lanjut (lee, Mancini dan Maxwell, 1990).
Hubungan antar saudara bisa
dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, jumlah, jarak kelahiran, rasio saudara
laki terhadap saudara perempuan, umur orang tua pada saat mempunyai anak
pertama, dan umur anak mereka keluar dari rumah (Schvaneveldt dan Ihinger,
1979).
Kedekatan emosi, harapan akan
adanya tanggung jawab saudara, dan konflik antar saudara (siblings), dianggap sebagai faktor yang
penting dalam interaksi antar mereka (Lee, Mancini dan Maxwell, 1990).
Kedekatan emosi termasuk adanya rasa ingin berbagai pengalaman, kepercayaan,
perhatian, dan perasaan senang dalam hubungan tersebut. Scott (1990) mengutip
beberapa penelitian yang menemukan bahwa secara emosi hubungan antar saudara
baik laki-laki maupun perempuan pada usia lanjut lebih erat dibandingkan ketika
mereka masih pada usia sebelumnya. Lebih besarnya kebutuhan pada usia lanjut,
perasaan yang kuat sebagai keluarga, perubahan persepsi karena perbedaan usia,
adalah beberapa alasan yang bisa disebutkan untuk membedakan kedekatan emosi
tersebut. Pada masa usia lanjut, saudara penting untuk saling memberikan dukungan
dan perhatian.
Salah satu faktor yang
mempengaruhi kedekatan hubungan antar saudara adalah kompisisi gender. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa hubungan antar dua
(dyad) saudara wanita di usia lanjut lebih kuat dibandingkan dengan
hubungan antar dua (dyad) saudara pria.
Bahkan hubungan (dyad) yang mengandung
unsur satu saudara wanita akan lebih kuat daripada hubungan (dyad) antar
saudara pria saja (Scott, 1990). Lebih kuatnya hubungan pada saudara wanita
dibanding saudara pria bisa didasarkan atas asumsi bahwa wanita diharapkan
untuk lebih memperhatikan masalah-masalah yang ada dalam keluarga, termasuk
merawat anak, melayani suami, merawat orang tua mereka yang sudah lanjut usia,
dan juga menjaga hubungan dengan saudara mereka. Harapan terhadap wanita untuk
membina hubungan dengan anggota keluarga sudah ditanamkan sejak kecil. Kaum
pria dianggap orang yang berorientasi pada pekerjaan, mampu mengendalikan diri,
dan siap terjun ke dalam dunia yang sangat kompetitif. Sehingga pria umumnya
tidak mampu menunjukkan emosinya dan takut emosinya terluka. Oleh karena itu
lebih sulit bagi mereka untuk membina hubungan yang mendalam dengan orang lain,
khususnya dengan sesama pria karena biasanya hubungan antar pria dibangun atas
dasar kompetisi (Keadilan, 1993).
Di masa mendatang, studi tentang
hubungan antar saudara perlu memperhatikan jumlah anggota keluarga yang
berubah, karena besarnya jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi hubungan
antar saudara di usia lanjut mereka (Cicirelli, 1980, Scott, 1990). Jumlah dan
proporsi orang lanjut usia di dunia semakin meningkat. Di Indonesia, pada tahun
1971 penduduk berusia 55 tahun ke atas berjumlah sekitar 7,5 juta jiwa atau 6,4
% (BPS, 1971). Pada tahun 1980 jumlah mereka meningkat menjadi 11,4 juta jiwa
atau 7,8 % (BPS, 1990). Dalam tahun 1990 jumlah mereka menjadi 16,1 juta jiwa atau 9,0 % (BPS, 1990).
Jika pasangan suami istri yang
tetap hidup sampai usia lanjut tidak mempunyai anak, atau mempunyai satu atau
dua orang anak saja, akan lebih sedikit anak yang biasa membantu orang tua di
usia lanjut mereka, baik sebagai teman, memberi dukungan secara psikologis,
atau bentuk bantuan lainnya. Karena jumlah orang yang berusia lanjut semakin
meningkat dan mereka mempunyai jumlah saudara lebih besar dibandingkan jumlah
anak yang mereka miliki, hubungan antar saudara diharapkan akan menjadi lebih
penting. Hubungan tersebut dapat berbentuk saling tukar menukar bantuan di
antara mereka.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
Adapun saran yang disampaikan oleh
kami pada kesempatan ini, kepada rekan-rekan yang membaca agar mempergunakan
makalah ini sebagai bahan kajian dalam memahami Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam (PK-PAI) khususnya masalah yang berkaitan dengan
pendekatan dan model pembelajaran atau kurikulum.